Nasionalisme Khan al_Khalili Analisis Poskolonialisme


attuwungiyu@gmail.com

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Sastra berasal dari bahasa sansekerta, yang tersusun dari kata sas dan tra. Sas yang berarti mengarahkan,  mengajar,  memberi petunujuk,  isntruksi. Sedangkan  tra berarti  alat, sarana.[1] Sehingga secara leksikal sastra dapat diartikan sebagai alat atau sarana untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan istruksi dalam hal apapun yang diimajikan serta harapan pengarang. Dalam perkembangan berikutnya, sastra dikombinasikan dengan awalan su sehingga menjadi susastra[2] yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan  indah. Namun dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas,[3] yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri-ciri khas kesustraan. Disisi lain pula, Sastra  diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis[4],  bila sastra berasal dari bahasa latin, yaitu Litteratura.
Sastra adalah  dunia dalam kata.[5] Menurut Langer (1957: 28, 83), lukisan bukanlah cat atau kanvas, melainkan sudah menjadi struktur ruang. Sastra bukan rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah menjadi wacana, menjadi teks. Sehingga sastra menerangkan dan membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui kualitas paradigmatis,[6] sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain diluar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus menerus dan menembus ruang dan waktu. lebih ringkas lagi, sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.[7]
Kebersamaan, keadilan, perdamaian dan kesejahteraan akan kehidupan bersama dengan sesama masyarakat lokal, regional nasional bahkan internasional, secara alami menjadi cita-cita dan harapan bersama. Namun dibalik akan cita-cita mulia tersebut, terdapat kepastian nas akan sifat manusia yang komplek. Manusia bukan malaikat, bukan pula setan. Manusia diantara keduanya, ada manusia yang baik dan buruk. Naluri manusia yang memiliki sifat keluh kesah serta kikir.[8] Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya ciptaan.[9] Fenomena nash tersebut, menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang komplek. Dapat pula dikatakan kehidupan masyarakat yang majemuk. Pengertian majemuk dapat didefinisikan melalui tiga karakter berikut : 1 keragaman cultural, 2 aliansi etnik. 3 terorganisasi secara politik. Sejauh itu masyarakat majemuk berdasarkan konfigurasinya di bagi atas 4 kategori : (1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, (2) masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, (3) masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, (4) masyarakat majemuk dengan fragmentasi. (nasikun: 1996. 5)      
Nasionalisme dengan berbagai penampilanya, Secara makna kamus; nasional berarti kebangsaan, mencakup bangsa, bersentral pada pemerintahan pusat, menyeluruh untuk satu negara. Sedangkan nasionalisme berarti kebangsaan, cinta akan tanah air, faham kebangsaan (persatuan bangsa).[10] Pada dasarnya nasionalisme lahir sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan yang sejak revolusi perancis, secara revolusioner mentransformasikan “imperium barat menjadi suatu “emporium”, yang sepanjang abad-abad berasil meluaskan penetrasinya hampir keseluruh sudut permukaan bumi.[11]  Keterkaitan erat antara nasionalisme dengan imperium.[12] Memahamkan akan hubungan erat antara menguasai dengan adanya sebuah perlawanan terhadap penguasaan tersebut.
Nasionalitas, kebangsaan dan nasionalisme budaya hasil ciptaan manusia yang diciptakan menjelang akhir abad ke 18. Nasionalisme merupakan penyaringan spontan akan sebuah “crossing” yang rumit mengenai kekuatan historis, tetapi sekali diciptakan mereka kemudian menjadi “modular”, dapat ditransplantasikan ke bemacam-macam daerah sosial untuk bergabung dan digabungkan dengan kelompok politik dan idiologi.[13]
Kemampuan menciptakan pengaruh yang hadir karena dimilikinya otoritas (wewenang)  dan legitimasi disebut kekuasaan.[14] Max Weber menjelaskan otoritas terbentuk dalam tiga hal; 1 otoritas tradisional, 2 otoritas karismatik, 3 rasional legal.[15]
Kolonialisme sebuah gerakan pendudukan atas wilayah incaran, yang secara politik pasti memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Inggris yang berambisi demikian atas Mesir, begitu pula Jerman. Karena Mesir merupakan sebuah Negara yang memiliki posisi strategis, terletak di sebelah suriah dan hijaz; tanah subur menumbuhkan berbagai tanaman biji-bijian, dan Negeri itu menjadi pintu masuk ke Afrika Utara.[16]
Pada tahun 1517 M Mesir dikuasai oleh kerajaan Turki Osmani di bawah pemerintahan Sultan Salim I, 1796 Mesir merdeka dari turki Osmani, 1797 Perancis berhasil memasuki Mesir melalui Alexandria yang dipimpin oleh Napoleon, 1801 jatuh di tangan kuasa Turki Osmani kembali setelah mengusir Perancis dari Mesir. Kerjasama antara turki Osmani, Inggris, dan Mamalik. Juli 1085 M Mesir dipegang oleh Muhammad Ali Pasha (pendiri Mesir Modern). Maret 1807 Inggris melakukan agresi militer di Mesir, Agustus 1807 berkat kelihaian Muhammad Ali Pasha dalam berdiplomasi Inggris dapat di pukul mundur. Pada masa Ali inilah kekuasaan Mesir meluas sampai ke Sudan, Syiria, bahkan para tentaranya turut pula berperang bersama Turki di kepulauan Yunani, Asia Kecil, hingga Eropa Timur. 1840 Sultan Osmani atas tekanan Inggris mengasingkan Muhammad Ali Pasha, sehingga Mesir diganti dan dibawah kepemimpinan Abbas I (1848-1854) dan Said Pasha (1854-1863). Pada kepemimpinan keduanya mesir mengalami kemerosotan. 1863-1879 Khedive Ismail memimpin, dia mampu memperbaiki kembali kehidupan politik sosial Mesir. Namun disisi lain Mesir mengalami kemerosotan ekonomi akibat pembangunan terusan Suez  dan campur tangan asing yang berlebihan. Sultan Ottoman mencopot jabatan Khedive Ismail dan diganti dengan putranya yang bernama Taufiq. Kedekatannya Taufiq dengan Inggris menjadikan politik manis untuk menguasai Mesir. Hingga munculah gerakan revolusi yang dipimpin Ahmad Orabi, namun Inggris tetap melakukan Agresi militer. Seteleh pertempuran beberapa kali di kawasan Delta, dan akhirnya Inggris mampu menguasai Cairo pada 14 Desember 1882. Karena Mesir membantu Turki dalam perang Dunia I melawan sekutu (termasuk diantaranya Inggris) pada tahun 1914 Inggris melepaskan Mesir dan Turki Osmani.[17]      
Seusai perang Dunia I, November 1918 Saad Zaghlul seorang pahlawan besar Mesir, berusaha dan berjuang menuntut kemerdekaan dari Mesir dari Inggris, yang berakibat penangkapan dan pengasingan dirinya. Namun penangkapan dan pengasingan berinfeksi terhadap kemarahan rakyat Mesir, 9 Maret 1919 terjadilah revolusi besar menentang Inggris di Cairo dan diikuti oleh seluruh penjuru Mesir , akhirnya Inggris merubah kebijakan politiknya dan membebaskan Saad Zaghlul.[18] Penjajahan Inggris dan campur tangan asing  yang merajalela serta rentetan perang palestina 1948, sistem kerajaan yang menindas rakyat dan tidak adanya demokrasi yang mengakibatkan merosotnya ekonomi serta rusaknya kehidupan sosial, memaksa kepada seluruh rakyat Mesir untuk meneriakkan satu kata: “revolusi”. Tanggal 23 Juli 1952 Dhubat al-Ahrar (dewan jendral) dibawah pimpinan Gamal Abdel Naser,[19] bergerak menguasai pusat-pusat pemerintahan dan sarana-sarana vital lainnya, serta mengepung istana Abdeen. Dan menyiarkan lewat satelit radio bahwa pengambil alihan kekuasaan di Mesir.[20]   
Najib Mahfudz Novelis yang dilahirkan pada 21 Desember 1911, di kampung al-Jamaliah, kota bagian Cairo, Mesir. Mahfudz tergolong Novelis yang sangat peka terhadap ketidakadilan sosial dan mengecam keras tindak korupsi serta penindasan yang menimpa masyarakat Mesir. Dalam periode novelnya, Mahfudz mulai berkarya pada tahun 1932, dalam karyanya baik novel maupun ontologi novel tidak kurang dari 46 Novel. Sesampai umurnya 33 tahun (1994) ia mempunyai karya dari penanya tidak kurang dari 70 buah novel. Periode novel pertama bernuansa romantis, realis, simbolis dan filosofis. Ia pula novelis arab pertama yang memperoleh Nobel dan pemenang hadiah ke-8 dari Dunia Ketiga.[21]
Mesir pada tahun 1941 tepatnya di daerah Sakanini dan Khan al-Khalili yang terekam dalam novel manisnya berjudul Khan al-Khalili. Dalam novel tersebut di bagian awal bagian pertama dan kedua ia menceritakan bagaimana keadaan di saat Sakanini sebagai saksi brutal antara Inggris dan Jerman. Keduanya menghujankan rudal, menghiasai langit di tengah malam hari dengan cahaya mirip kembang api, namun mencemaskan penduduk, mereka tidak dapat tidur, sirine saling bersautan, warga masyarkat dari anak-anak sampai kake-kakek ketakutan dan mencari persembunyian. Namun apa daya mereka melawan tanpa menggunakan peralatan semisal.
Ahmad Akif Affandi putra Akif Affandi Ahmad, remaja yang rela dan tulus memperjuankan nasib keluarganya, meskipun dia memiliki cita-cita untuk menjadi hukum, ilmuan, bahkan sampai sastrawan. Namun karena bapaknya Akif Affandi Ahmad entah alasan penyebab apa yang menyebabkan dia dikeluarkan “dipecat” bahasa halusnya di PHK dari pekerjaannya sebagai pegawai. Bahkan dia divonis tidak boleh menjadi pegawai Negeri dimanapun ada. Dengan demikian Ahmad Akif Affandi tidak sampai hati untuk melanjutkan kuliahnya sampai setinggi cita-cita yang ia bayangkan dan dia impikan.
Akhirnya dia memutuskan untuk membantu bapaknya, saat itu ia masih berumur 23 tahun, ia menjadi pegawai di Departemen Pekerjaan Umum. selama 20 tahun lebih ia tidak sempat menikah karena memikirkan keluarganya, bahkan dia menjadi penanggup jawab layaknya kepala keluarga. Dari kebutuhan setiap hari, baik pokok maupun sekunder. Dia juga memikirkan bagaimana akan nasib adiknya sehingga dia berkomitmen akan membiayai pendidikan adiknya. Namun di balik kesemua keikhlasan menggatikan posisi layaknya bapak, ia juga memiliki sifat manusiawi diantaranya keras kepala, tidak mau mengalah dalam perdebatan meskipun salah, dan sebagainya.
Dalam novel tersebut seolah mencerminkan sikap yang oposisi biner sekaligus ambivalensi. Meskipun satu sikap yang tercermin dari tokoh novel itu baik, satu sisi dia sebaliknya. Dalam novel itu pula terdapat ambisi rakyat untuk bebas dari kolonialisme bangsa asing. Mereka melalui berbagai cara untuk menyelesaikan problem tersebut. Diantaranya dalam diskusi mereka yang terjadi di tempat nongkrong warung milik Muallim Nunu. Nasionalisme yang muncul dari para tokoh tergambar meskipun terdapat beberapa rasa nasionalisme yang tidak tercermin secara tersurat serta dalam bentuk yang problem (majemuk).
Menurut amat penulis nasionalisme dalam sebuah novel itu, tidak harus berbentuk seperti halnya nasionalisme rakyat Mesir 2011 yang mampu menggulingkan pemerintahannya Husni Mubarok, diantaranya melalui facebook. Tidak pula seperti nasionalisme rakyat syiria. Namun nasionalisme tokoh yang entah bagaimanapun cara, bersinergi membangun peradaban wilayahnya untuk bebas dari keterpurukan, kebodohan, kemiskinan, terutama mampu membebaskan dari campur tangan kolonialis Barat (Inggris, dan Jerman).  Sehingga mampu membentuk masyarakat yang madani. 
Dari paparan-paparan peneliti diatas, beberapa alasan yang melatar belakangi pemilihan penelitian, yaitu kajian Nasionalisme dalam Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh melalui perspektif Post-Kolonial sebagai berikut:
Pertama pemilihan novel modern karya Najib Mahfudh sangat tepat, karena ia termasuk rakyat jajahan Dunia Ketiga. Ia pula sebagai saksi hidup beberapa serangan Barat yang dalam hal ini Inggris dan Jerman. Kedua novel Khan al-Khalili merupakan karya realis sasksi bisu kolonialime yang terdapat di Mesir. Tentu apapun hal yang sifatnya ada penjajahan pasti akan ada anti penjajahan. Anti penjajahan demikianlah yang diantaranya, terindikasi sebagai wadah inspirasi pememberontakan serta pembebasan dari kolonialisme. Pemberontakkan yang demikianlah dinamakan nasioalisme yang peduli akan keberlasungan Negaranya. Ketiga peneliti memilih penelitian berfokus pada nasionalisme dengan menggunakan kritik post-kolonial, disebabkan novel Khan al-Khalili menawarkan gagasan nasionalisme yang tergambarkan pada tokoh-tokoh novel tersebut, dengan unik, menarik serta bervariasi diantara satu dengan yang lainnya. Keempat kajian terhadap novel perspektif post-kolonial masih jarang dilakukan oleh para peneliti, terutama oleh mahasiswa Adab sendiri. Padahal menurut amat peneliti justru kajian perspektif post-kolonial sangat diperlukan demi terbongkarnya misi-misi Barat, dengan kolonialismenya. Keenam post-kolonial merupakan sebuah teori postrukturalisme yang wilayah kajiannya sangat luas, mulai dari sejarah, politik, ekonomi, budaya, sastra. Maka peneliti mengkerucutkannya melalui sastra, meskipun demikian peneliti hanya menampilkan sudut nasionalisme saja, guna keefisiensinya sebuah penelitian.    

   
B.  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, beberapa permasalahan yang diungkapkan dalam peneliti ini, secara spesifik, bila di rumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Novel tersebut merekam gagasan-gagasan nasionalisme serta realisasinya dalam membebaskan Negaranya pengarang, melalui tokoh-tokoh dalam novel dari pengaruh dan kolonialisme Barat (Inggris dan Jerman), apakah gagasan-gagasan nasionalisme tersebut bersifat universal atau partikular ?.
2.      Bagaimana ambivalensi gagasan-gagasan nasionalisme yang bersemayam dalam novel tersebut menunjukkan realitas pengaruh budaya dan kolonialisme berlangsung?.
3.      Bagaimana dekontrusi menyelesaikan berkaitan problematis tersebut, yang ditawarkan dengan adanya ambivalensi-ambivalensi sikap nasionalisme dalam rangka realisasi kemerdekaan dan kebebasan dari dunia Barat ?.
C.  TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian secara teoritis adalah (a) mengungkap ekpresi nasionalisme yang ditawarkan oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya, dalam rangka ikut serta membebaskan dan memerdekakan Negaranya Mesir dari kolonialisme Barat, apakah nasionalisme tersebut bersifat universal atau bersifat partikular. (b) mendeskripsikan ambivalensi-ambivelensi gagasan nasionalisme yang telah diangankan oleh  novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh. (c) memalui studi kajian analisi post-kolonial yang termasuk teori kajian postrukturalisme maka tidak terlepas dari dekontruksi, dengan melalui kajian novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh, peneliti mengungkankan bagaimana dekontruksi terhadap ambivalensi-ambivalensi yang terekam dalam novel tersebut, yang kesemuanya tersebut hanya demi membebaskan dari pengaruh kolonialismenya Barat dan antek-anteknya.
Adapun manfaat penelitian secara praktis, jelas menambahkan koleksi kajian dalam perspektif post-kolonial yang belum banyak mahasiswa Adab mengkajinya. Disatu sisi kajian ini bermanfaat bagi peneliti secara kusus, serta peneliti lain yang tertarik dengan kajian post-kolonial sebagai sebuah teori analisis yang mengungkapkan kolonialisme-kolonialisme, yang saat ini masih merajalela di jagat dunia. Padahal kolonial secara aturan aqidah itu tidak dibenarkan karena sudah merampas hak dan kelayakan hidup orang lain.    
D.  TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan informasi baik melalui daftar judul skripsi yang terekam dalam daftar judul pengendalian judul, serta Sia perpustakaan UIN Suka. Sejauh pengamatan peneliti sebagai berikut, pertama terdapat beberapa judul yang kajian objeknya sama, dengan peneliti namun teori yang digunakan untuk mengkajinya berbeda jauh, yaitu:
1.      Skripsi Edi Safa’atno (9110878). Riwayat Khan al-Khalili Li Najib Mahfuz: “Dirasah Tahliliyah Ijtima’iyah.”
2.      Skripsi Agus Ikhsan : Amarat al dhihan li Shakhsi al awwal fi riwayah Khan al Khalili li Najib Mahfuz: “Dirasah Tahliliyyah Psikolujiyyah Adabiyyah.”
3.      Skripsi Lukis, Alam Fak. Adab UIN SUKA - Yogyakarta – 2005 yang berjudul Shakhsiyyah Ahmad 'Aqif fi Khani al Khaliliy Li Najib Mahfuz.
Dalam kajian ketiga judul tersebut, meskipun objek kajian sama, namun karena alat bedah yang digunakan berbeda, pasti berbeda pula hasilnya atau kesimpulannya. Pertama skripsi karya Edi Syafa’at ia mengkritisi novel tersebut dengan studi analisis sosiologis, ia menggambarkan bagaimana keadaan-keadaan sosial yang terjadi meliputi sosial itu sendiri, politik, ekonomi, dan agama. Kedua Skripsi Agus Ihsan, membatasi kajiannya pada struktur kepribadian tokoh utama, dan bagaimana deskripsi psikologis pada penokohan tokoh utama dalam hal ini Ahmad Akif Afandi. Iapun menyimpulkan bahwa ia menemukan symptom psikosis pada tokoh utama, disamping faktor-faktor yang mempengaruhi psikis tokoh utama, serta kepribadiannya menurut pandangan psikologi Gestalt. Ketiga sekripsi karya Alam Lukis, menceritakan kepribadian semata yang di alami oleh tokoh Ahmad Akif Afandi, diapun menggunakan studinya melalui teori-toeri psikologis yang dimiliki oleh Freud. Dari ketiga skripsi diatas jelas tidak sama dengan apa yang dikaji oleh peneliti. Meskipun pada dasarnya kajian post-kolonial terlahir dari pakar psikologis dan sosialis, namun bukan pemisahan dari psikologis dan sosiologis, tapi analisis penggabungan antara keduanya yang penekanannya pada novel karya negara dunia ketiga. Dan kajian analisis post-kolonial itu, menurut Prof. Nyoman, itu syarat akan adanya sebuah dekontruksi. Dengan demikian semakin jelas dan nampak kajian seperti ini belum pernah ada yang mengkaji. Dalam tanda kutip, berkaitan dengan obyeknya yakni Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh.
E.  LANDASAN TEORI
Teori secara bahasa, berasal dari bahasa latin theoria[22] yang berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori dalam dunia keilmuan diartikan sebagai perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telaah teruji kebenarannya.[23] Teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan penjelasan mengenai sejumlah fenomena (Liang Gie, 1984:57). Teori memegang peranan terpenting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Hassan dan Koentjaraningrat, 1979:19). Yang perlu diperhatikan adalah teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, melainkan harus dianggap sebagai petunjuk hipotesis (lih. Tan, 1979:32).[24]
Teori strukturalisme[25] berkembang sejak tahun 1930, kurang lebih setengah abad. Hingga pada tahun 1980 sturkturalisme direvisi dengan poststrukturalisme[26]. Heroisme (kegagahan) sturkturalis dalam menguasai dunia tanda, oleh kelompok pasca strukturalis dijadikan semacam komik, antiheroik. Secara bahasa postrukturalisme tersusun dari kata post + struktur + isme yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks post memiliki padanan seperti ‘para’, dan “akhir’. Keduanya telah digunakan jauh sebelumnya, contoh post-industri, para-Marxis, akhir manusia, akhir sejarah, dan sebagainya. Pada tahun 1870-an John Watkins Chapman telah menggunakan istilah Postmodernisme (Paham sesudah modern). Namun istilah postmodernisme muncul kembali tahun 1930-an oleh Federico de Onis, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an. Pendapat lain mengatakan bahwa pelopor istilah postmodernisme adalah Arnold Toynbee (1870-an) atas dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayaan barat kearah irasionalitas dan relativisme.[27]
Strukturalisme memandang bahwa bahasa tidak sekedar mencerminkan atau merekam dunia: bahasa membentuk dunia, hingga cara kita melihatnya adalah apa yang kita lihat. Menurut kaum postrukturalis, konsekuensi dari kepercayaan ini adalah bahwa kita memasuki sebuah alam semesta berisi ketidak pastian radikal, sebab kita tidak memiliki akses petanda (hal yang ditandai) yang tetap dan berada di luar pemprosesan linguistik, dan karenanya tidak memiliki standar yang pasti untuk mengukur apapun.[28] Namun lebih jelas dan berguna bila disampaikan perbedaan dan kekhasan antara stukturalisme dan postrukturalisme sebagai berikut; 1 asal usul, strukturalisme sebagian besar berasal dari linguistik. Linguistik disiplin ilmu yang pada dasarnya yakin akan adanya kemungkinan menetapkan pengetahuan objektif. Sedangkan postrukturalisme sebagian besarnya berasal dari filsafat. Filsafat adalah disiplin ilmu yang selalu cenderung menekankan sulitnya memperoleh pengetahuan yang pasti tentang segala hal. Sudut pandang ini dirangkum dalam ucapan Nietzsche yang terkenal “Fakta itu tidak ada, yang ada hanya interpretasi.” 2 Sifat dan gaya. Tulisan strukturalis cenderung bersifat abstrak dan rampat: ia bertujuan sifat tidak memihak, ‘ketenangan ilmiah’. Sedangkan tulisan postrukturalis cenderung lebih emotif. 3 Sikap terhadap bahasa. Kaum strukturalis percaya bahwa dunia dikontruksi melalui bahasa, kita tidak memiliki akses kerealitas kecuali melalui medium linguistik. Bagaimanapun bahasa adalah sistem yang teratur, bukan kacau-balau. Sedangkan postrukturalisme yang bersifat jauh lebih fundamentalis dengan bersih kukuh tentang konsekuensi dari pandangan bahwa, pada efeknya, realitas itu sendiri tekstual. Postrukturalisme beranggapan bahwa tidak memperoleh pengetahuan apapun dari bahasa. Mereka memahami akan tanda verbal itu terus-menerus mengapung dan bebas dari konsep. Oleh sebab itu pemahaman mereka atas tanda dilogikakan dengan agak obsesif dan didasarkan pada-zat-zat cair. Sehingga berkesimpulan tanda-tanda mengapung bebas dari apa yang ditunjukannya sedang makna bersifat cair dan senantiasa tergelincir atau tumpah. 4 Proyek. Artinya tujuan fundamental yang dimaksud kedua aliran tersebut. Strukturalisme mempertanyakan bagaimana caranya menstrukturkan dan mengategorikan realitas dan terlepas dari mode-mode persepsi. Sedangkan postrukturalis lebih fundamental ia tidak mempercayai gagasan nalar dan ide manusia adalah entitas independen, mereka lebih memilih gagasan akan subjek yang ‘lesap’ atau ‘dikontruksi’ dengan begitu, apa yang dianggap bersifat individual sesungguhnya merupakan produk dari kekuatan sosial dan linguistik, artinya sama sekali bukan esensi melainkan sekedar jaringan tekstualitas.[29]                             
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan ‘kolonial’, sedangkan kata kolonial berasal dari kata coloni, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Kolonial bermakna negatif sesaat terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa.[30] Namun dalam keterangan lain menerangkan bahwa kata post pada kata Poskolonial, sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berarti pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.[31]
Ania Loomba menjelaskan bahwa penaklukan terhadap sebuah wilayah sudah sejak dari dulu sudah terjadi, misalkan pada tahun 1122 SM dinasti shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti chau, kekaisaran Romawi abad ke-2 SM menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, pada tahun 712 lembah sungai Indus ditaklukkan oleh Muhammad bin al-Qasim, bangsa mongol abad ke-13 menguasai Timur Tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke-14 dan kerajaan Inca abad ke-15 menaklukkan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Sedangkan aksi kolonialisme negara-negara Eropa Modern baru mulai sekitar abad ke-16.[32]
Fanon pada tahun 1961[33] dalam bukunya yang berjudul The Wretched of Eart[34] di terbitkan di prancis, ia menyuarakan akan “perlawanan kultural”, terhadap Imperium Afrikanya Prancis. Ia menawarkan dua langkah untuk mengembalikan dan bebas dari lilitan kolonialis Eropa bahwa langkah pertama bagi orang terjajah untuk mendapatkan suara dan identitas adalah dengan menuntut ulang masa lalu mereka. Adapun langkah kedua adalah mengikis idiologi kolonialis yang digunakan untuk merendahkan masa lalu tersebut.[35]
Fanon menyimpulakn bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat. Sedangkan yang dimaksud teori poskolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti : sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebagainya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropah Modern. Adapun gejala kultural yang dimaksud sebuah sebuah teks yang merekam budaya atau kultur yang ditulis oleh orientalis (orang timur). Meskipun demikian, terdapat penulis oriental yang sudah berbudaya selayaknya barat,  sehingga pikiran pehaman mengacu pada budaya barat, ia sudah terkonstruksi pemikiran Barat. Visi postkolonial adalah menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun superioritas orang barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas timur, oleh karena itu menurut Said, sasaran visi postkolonial adalah subjek intelektual Barat. Teori poskolonial mencakup seluruh hazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonisasi hingga sekarang. Tema kajian poskolonial sangat luas dan beragam, hampir meliputi seluruh aspek kebudayaan, diantaranya: politik, idiologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa dan sastra. Poskolonial terbagi tiga pengertian 1 abad berakhirnya imperium kolonial diseluruh dunia. 2 segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial, 3 teori-teori yang digunakan untuk menganalis masalah-masalah pascakolonialisme.[36]
      Kolonialis bekerja tidak hanya melalui fisik, berupa peperangan, penyerangan, namun melalui pengetahuan. Dalam hal ini Nyoman menawarkan bahwa keberhasilan Eropa modern dalam menguasai kolonialisme tidak semata diakibatkan oleh kekuatan fisik, ada kekuatan lain justru lebih berperan, yaitu wacana. Senjata transparan yang tidak mudah diketahui maksud dan tujuan jelas. Sedangkan penjajahan malalui fisik nampak jelas.  
Terdapat dua tujuan besar yang dicari dan justru hal itu menjadi key of colonialism dalam menguasai sebuah wilayah, yaitu kekuatan dan kelemahan sebuah wilayah.[37] Menyanjung akan kekuatan yang dimiliki sebuah wilayah, serta memanfaatkan kelemahan-kelemahan sekaligus menjadikan kelemahan tersebut, sebagai medan strategis untuk mengekploitasi kekayaan dan khazanah yang ada di wilayah jajahan. Bahkan lebih ektrim menjadikan wilayah jajahan sebagai budak suruhan dengan durasi 24 jam free honor.  
Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penolakan. Sehingga dekontruksi dapat di artikan cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan universal. Derrida[38] (1976) mengemukakan bahwa dekontruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner[39] dan cara-cara berpikir lainya yang bersifat hierarki dikotomis. Kemudian Kristeva (1980: 36-37) menawarkan pengertian bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakekat destruktif dan konstruktif. Dekontruksi adalah cara membaca teks sebagai strategi. Dekontruksi semata-mata tidak ditunjukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.    
            Menurut Said (2001:55) dekontruksi terhadap wacana-wacana kolonialis penting untuk menyadarkan bangsan Eropa, bahwa teks-teks orientalis penuh dengan bias cultural, sekaligus menghapuskan mitos bahwa masyarakat barat adalah dinamis sedang bangsa Timur adalah statis, barat memiliki ciri-ciri maskulin sedang Timur Feminin.[40]
F.   METODE PENELITIAN
Metode adalah cara kerja memahami objek suatu penelitian.[41] Sehingga metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data).[42] Penelitian dalam bidang sastra pada umumnya dikenal dengan dua jenis penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).[43] Dalam hal ini peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library research) artinya penelitian dilakukan dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji berbagai litaratur atau bahan-bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan topik penelitian.[44]
Data-data yang digunakan sebagai acuan melakukan penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua jenis data, yakni data primer dan sekunder:
1.      Data primer, yang digunakan peneliti adalah karya Najib Mahfudh. yang berjudul Khan al-Khalili terbitan Daru al-Mishr Lithoba’ah. Kemudian peneliti dalam memudahkan memahaminya, peneliti menggunakan hasil terjemahan yang di terjemahkan oleh Fahrurroji M. Bukhori, terbitan pustaka Jendela tahun 2003. Yang berjudul Lelaki dalam Pasungan.  
2.      Adapun data sekunder, peneliti mencari reverensi yang berkaitan baik dari buku, jurnal, kamus, artikel bahkan kamus.
Adapun proses pembahasan penelitian ini adalah pertama pengumpulan data-data sumber tertulis (buku, laporan penelitian, makalah, jurnal, ensiklopedi, kamus, dan lain-lain)  yang berkaitan dengan topik kajian penelitian. Kedua pengklasifikasian dan penyeleksian data sesuai dengan kepentingan yakni sesuai dengan prosedur teori analisis. Ketiga setelah dirasa teori cukup, data yang terdapat dalam novel dianalisis melalui beberapa tahap, yakni melalui kajian intrinsik terlabih dahulu, kemudian menganalisis dengan gagasan nasionalisme yang dikaitkan bagaimana caranya post-kolonial bekerja, setelah itu karena post-kolonial syarat dengan dekontruksi maka finising analisis peneliti menggunakan teori dekontruksi. Keempat menyusun laporan dan merivisi laporan sesuai dengan menggunakan pedoman ilmiah yang telah di tetapkan.    
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Laporan penelitian berjudul,
القومية فى رواية "خان الخليلي" الذى ألفها روائي نجيب محفوظ: "دراسة تحليلية ما بعد إستعمارية." 
Nasionalisme dalam Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh: “studi analisis post-kolonial.” Disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan. Bab ini terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitan dan pembahasan kemudian ditutup dengan sistematika pembahasan.
 Bab kedua Mesir, Modernitas Novel dan Nasionalisme. Terdiri dari tiga sub judul yaitu pertama Mesir dan pengalamannya dalam campur tangan bangsa Asing. Kedua Riwayat perkembangan novel Mesir. Ketiga nasionalisme Mesir dalam rekaman sejarah.
Bab ketiga, Nasionalisme dalan Novel Khan al-Khalili. Bab ini memuat tiga sub bab, pertama menjelaskan gagasan nasionalisme tokoh yang terekam dalam novel. Kedua ambivalensi-ambivalensi sikap para tokoh, kemudian ketiga mendekontruksi kemapanan teori nasionalisme yang berseberangan dengan teori nasionalisme pada kenyataannya.
Bab keempat merupakan kesimpulan analisis pembahasan. Laporan penelitian ini juga diakhiri dengan daftar pustaka kajian serta lampiran-lampiran yang dirasa dibutuhkan.
H. KERANGKA PENULISAN SKRIPSI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
PERSEMBAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I: PENGANTAR
1.           Latar Belakang
2.           Rumusan Masalah
3.           Tujuan dan Manfaat Penelitian
4.           Tinjauan Pustaka
5.           Landasan Teori
6.           Metode Penelitian
7.           Sistematiaka Pembahasan

BAB II: MESIR, MODERNITAS NOVEL MESIR DAN NASIONALISME
1.           Mesir dan Pengalamannya dalam Campur Tangan Bangsa Asing
2.           Riwayat Perkembangan Modernitas Novel Mesir
3.           Nasionalisme dalam Rekaman Sejarah  
BAB III: NASIONALISME DALAM NOVEL KHAN AL-KHALILI
1.           Nasionalisme Tokoh-Tokoh dalam Novel
2.           Ambivalensi-Ambivalensi Sikap antar Tokoh
3.           Dekontruksi Terhadap Sebuah Kemapanan
BAB IV: KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN












DAFTAR PUSTAKA
Najib Mahfudh. Khan al-Khalili. Darun Mishr Lithoba’ah
Thahan, Raihan dkk. Adabul-Buhȗts al-Jȃmi’iyah al-Lughawiyah wal- adȃbiyah. Dȃrulkutub al-Lubnani- Beirut.
Maria. Asasu ‘ilmu al-Lughah. (Penerjemah dan pentahqiq: Ahmad Mukhtar Umar). ‘Ȃlimu al-Kutub.
Abidin, Zainal. Abdulqadir; “Mudzakarah  fi Tarikhi al-Adabi al-‘Arabi lilqismi al-Taujih”; diwan Bahasa dan Pustaka kementrian Pendidikan Malesyia KualaLumpur.
Dayf, Syauqi. 1961.al-Adabi al-Arabi al-Ma’ashir. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culture Studis: Presentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet III.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kususastraan. Di Indonesiakan melani budianti. Jakarta: gramedia Pustaka Utama. Cet IV.
Tim Pustaka Agung Harapan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan.
Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gitamedia Press. Cet. I.
Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. I.
endrastomo, Grendi. 2007. Dimensia. Vol. 1. No. 1.
Hitti, Philip K. 2005. History of the Arabs. Penerjemah: Dedi Slamet Riadi, Qomarudin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semeste. Cet. I.
http://www.acehforum.or.id/showthread.php?t=3427&pagenumber  (21 Februari 2012, pukul 15.01 WIB).
Mahfuz, Najib. 2003. Lelaki dalam Pasungan. Penj. Pahrurraji M. Bukhori. Yogyakarta: Jendela. Cet.III.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. IV.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Cet. I.
Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I.
Nurhadi. 2007. Poskolonial: Sebuah Pembebasan. Sebauh artikel yang dipresentasikan di Seminar rumpun sastra di FBS UNY.
Yudiono. 1990. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
T. Fatimah Djajasudarma. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2004. Buku Pedoman Penulisan dan Konsultasi Tesis. Semarang: Progam Magister Ilmu Susastra Undip.
Rahman, Dudung Abdur. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta. Hal. 7.
Warson. A.M. Al-Munawir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Warson. A.M. Al-Munawir Indonesia Arab. Surabaya: Pustaka Progresif.
Ali, Atabik. A. Zuhri Mudlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
__________. Al-Munjid Fi Lughoh wal A’lam. Darul Masyriq Beirut, Edisi 41.
Imaddudin, Basuni. Nashiroh Ishaq. Kamus Idiom Arab Indonesia Pola Aktif. Ulinuha Press.
Echols, John. M., Hasan Shadily. 2005. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Pt. Gramesia. Cet. 24.
Dloif, Syauqi, dkk. 2004. Mu’jam Al-Washit. Penerbit Asyuruq ad-Dauliyah. Cet. 4.
Ba’albaki, Rohi. Kamus Maurid. Dar el-ilm Lilmalayin.



[1] Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culture Studis: Presentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet III. Hal. 4.
[2] Ibid hal. 5.
[3] Ibid hal. 5.
[4] Ibid hal. 6.
[5] Ibid hal. 14.
[6] Hubungna tanda paradikmatik artinya sebuah tanda, kata, atau istilah, yang digunakan dalam sebuah tindakan berbahasa seolah-olah muncul sebagai pusat konstelasi, yakni sebuah titik tanda-tanda  lain berkonvergensi dan berkoordinasi melalui penalaran tertentu. Sedang sebaliknya adalah hubungan tanda sintagmatik yaitu hubungan antar tanda yang hadir secara berurutan dalam satu linieritas tindakan berbahasa. (widada, 2009: 21).
[7] Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kususastraan. Di Indonesiakan melani budianti. Jakarta: gramedia Pustaka Utama. Cet IV. Hal. 109.
[8]  إِنَّ الْإِنْسٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا ۝١٩ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا ۝٢٠ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا ۝٢١  (سورة المعارج : ١٩-٢١ )
[9]  لَقَدْ خَلَقْنَ الْإِنْسَانَ فِى أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ ۝٤ ( سورة التين: ٤).
[10] Tim Pustaka Agung Harapan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan. Hal 451., Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gitamedia Press. Cet. I. Hal. 333.
[11] Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. I. hal. 3.
[12] Kemaharajaan penguasaan tertinggi (Osman: 1982: 275); kerajaan, kekaisaran (KBBI: 2005: 427); kekuatan atau kekuasaan yang maha besar, hak memerintah (Peter, Yeny :KBIK:1991).
[13] Hendrastomo, Grendi. 2007. Dimensia. Vol. 1. No. 1.
[14]Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. I. hal. viii.
[15] Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patur dihormati. Wewenang karismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaksian kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepada kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya, akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya. 
[16] Hitti, Philip K. 2005. History of the Arabs. Penerjemah: Dedi Slamet Riadi, Qomarudin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semeste. Cet. I. Hal. 199.
[17] http://www.acehforum.or.id/showthread.php?t=3427&pagenumber  (21 Februari 2012, pukul 15.01 WIB).
[18] Saad Zaghlul seorang pahlawan besar Mesir meninggal pada tanggal 23 Agusutus 1927 M.
[19] Gamal Abdul Nasser (1918-1970) presiden kedua Mesir. Aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajahan dan kekuasaan asing.
[21] Mahfuz, Najib. 2003. Lelaki dalam Pasungan. Penj. Pahrurraji M. Bukhori. Yogyakarta: Jendela. Cet.III. Hal. 477-480.
[22] Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. IV. Hal. 1.
[23] Ibid hal. 1.
[24] Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Cet. I. Hal. 37.
[25] Strukturalisme berkembang pada awal abad ke-20 (1915-1930), secara historis teori-teori strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: Formalisme dan Stukturalisme Dinamik.  
[26] Kemunculan teori-teori postrukturalisme karena merasa bahwa teori terdahulu memiliki kelemahan dan perlu untuk di perbaiki. Adapun kelemahan strukturalisme: 1 model analisis struturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan sistem tertentu, 2 strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subyek manusianya (pengarang dan pembaca), 3 hasil analisis hanya untuk sastra itu sendiri bukan kepentingan masyarakat secara luas. (Nyoman, 2008: 143-144). 
[27] Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal. 145-146.
[28] Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal. 71.
[29] Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal. 73-76.
[30] Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal. 205.
[31] Nurhadi. 2007. Poskolonial: Sebuah Pembebasan. Sebauh artikel yang dipresentasikan di Seminar rumpun sastra di FBS UNY. Hal. 2.
[32] Ania Loomba (2003:2-3) dikutib oleh (Nyoman, 2008:205).
[33] Versi bukunya pak Nyoman terbit tahun 1967, dengan judul buku Black Skin, White Masks and The Wretched of the Eart, karya Frantz Fanon. Menurut Shelley Walia (2001:6; Said,2003:58-59) merupakan proyek poskolonialisme pertama kali. (Nyoman, 2008:206).
[34] Karya-karya terkait kajian poskolonial adalah karya selden (1985) berjudul A Reader’s Guide to Contempory Literary Theory, Jeremy Hawthorn (1992) dalam karyanya A Conside Glossary of Contemporary Literary Thaory, Gayartri Spivak (1987) In Other Worl, Bill Ashcroft (1989) The Empire Writes Back, Homi Bhabha (1990) Nation and Naration, Edward Said (1993) Culrture and Imperialism. (Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal. 223).
[35] Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal.224.
[36] Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal 207-208.
[37] Intelektual Barat mengembangkan proyek ilmu pengetahuan tentang bangsa Timur  yang disebut orientalisme. Dengan dihasilkannya dengan berbagai aspek kajian mengenai bangsa Timur  maka dapatlah diketahui kekuatan sekaligus kelemahan bangsa Timur, sehingga lebih mudah untuk dikuasai.(Nyoman, 2008: 209).
[38] Seorang tokoh terpenting berkaitan dengan teori dekontruksi, nama panjangnya adalah Jacques Derrida seorang Yahudi Aljazair kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis (Nyoman, 2008:223).
[39] Kecenderungan oposisi biner adalah anggapan bahwa unsur yang pertama merupakan pusat, asal-usul dan prinsip, dengan konsekuensi logis unsur yang lain menjadi sekunder, marginal manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya.
[40] Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal 210.
[41] Yudiono. 1990. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Hal. 14.
[42] T. Fatimah Djajasudarma. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco. Hal. 13.
[43] Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2004. Buku Pedoman Penulisan dan Konsultasi Tesis. Semarang: Progam Magister Ilmu Susastra Undip. Hal. 12-14.
[44] Rahman, Dudung Abdur. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta. Hal. 7.

2 komentar :

Santri kudu wani kluruk

el_kutub. Diberdayakan oleh Blogger.

Kritik dan Saran

Kemajuan butuh kritik dan saran dari semua elemen

BTemplates.com

Achmad Choirul Umam email: attuwungiyu@gmail.com nama Pena: Elkutub Facebook: Elkutub Merdeka Penulis adalah Alumnus PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta

Blogroll