Nasionalisme dalam Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudz (Studi Analilis Postrukturalisme)
Achmad Choirul Umam (attuwungiyu@gmail.com)
2015: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sastra berasal dari bahasa
sansekerta, yang tersusun dari kata sas dan tra. Sas yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunujuk, isntruksi.
Sedangkan tra berarti alat, sarana.[1]
Sehingga secara leksikal sastra dapat diartikan sebagai alat atau
sarana untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan istruksi dalam hal
apapun yang diimajikan serta harapan pengarang. Dalam perkembangan berikutnya, sastra dikombinasikan dengan awalan su sehingga menjadi susastra[2]
yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Namun dalam teori kontemporer sastra
dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas,[3]
yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri-ciri khas kesustraan. Disisi lain pula, Sastra diartikan sebagai segala sesuatu yang
tertulis[4], bila sastra berasal dari bahasa latin, yaitu Litteratura.
Sastra adalah dunia
dalam kata.[5]
Menurut Langer (1957: 28, 83), lukisan bukanlah cat atau kanvas, melainkan
sudah menjadi struktur ruang. Sastra bukan rangkaian kata dan kalimat,
melainkan sudah menjadi wacana, menjadi teks. Sehingga sastra menerangkan dan
membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki energi. Melalui
energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru.
Melalui kualitas paradigmatis,[6]
sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain diluar
dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus menerus dan menembus ruang
dan waktu. lebih ringkas
lagi, sastra
adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.[7]
Kebersamaan, keadilan, perdamaian dan kesejahteraan akan
kehidupan bersama dengan sesama masyarakat lokal, regional nasional bahkan
internasional, secara alami menjadi cita-cita dan harapan bersama. Namun
dibalik akan cita-cita mulia tersebut, terdapat kepastian nas akan sifat
manusia yang komplek. Manusia bukan malaikat, bukan pula setan. Manusia
diantara keduanya, ada manusia yang baik dan buruk. Naluri manusia yang
memiliki sifat keluh kesah serta kikir.[8]
Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya ciptaan.[9]
Fenomena nash
tersebut, menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang komplek. Dapat pula
dikatakan kehidupan masyarakat yang majemuk. Pengertian majemuk dapat
didefinisikan melalui tiga karakter berikut : 1 keragaman cultural, 2
aliansi etnik. 3 terorganisasi secara politik. Sejauh itu masyarakat
majemuk berdasarkan konfigurasinya di bagi atas 4 kategori : (1) masyarakat
majemuk dengan kompetisi seimbang, (2) masyarakat majemuk dengan mayoritas
dominan, (3) masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, (4) masyarakat majemuk
dengan fragmentasi. (nasikun: 1996. 5)
Nasionalisme dengan berbagai
penampilanya, Secara makna kamus; nasional berarti kebangsaan, mencakup
bangsa, bersentral pada pemerintahan pusat, menyeluruh untuk satu negara.
Sedangkan nasionalisme berarti kebangsaan, cinta akan tanah air, faham
kebangsaan (persatuan bangsa).[10]
Pada dasarnya nasionalisme lahir sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan yang
sejak revolusi perancis, secara revolusioner mentransformasikan “imperium barat
menjadi suatu “emporium”, yang sepanjang abad-abad berasil meluaskan
penetrasinya hampir keseluruh sudut permukaan bumi.[11] Keterkaitan erat antara nasionalisme dengan
imperium.[12] Memahamkan akan
hubungan erat antara menguasai dengan adanya sebuah perlawanan terhadap penguasaan tersebut.
Nasionalitas,
kebangsaan dan nasionalisme budaya hasil ciptaan manusia yang diciptakan
menjelang akhir abad ke 18. Nasionalisme merupakan penyaringan spontan akan
sebuah “crossing” yang rumit mengenai kekuatan historis, tetapi sekali
diciptakan mereka kemudian menjadi “modular”, dapat ditransplantasikan
ke bemacam-macam daerah sosial untuk bergabung dan digabungkan dengan kelompok
politik dan idiologi.[13]
Kemampuan menciptakan pengaruh yang
hadir karena dimilikinya otoritas (wewenang)
dan legitimasi disebut kekuasaan.[14]
Max Weber menjelaskan otoritas terbentuk dalam tiga hal; 1 otoritas
tradisional, 2 otoritas karismatik, 3 rasional legal.[15]
Kolonialisme sebuah gerakan pendudukan atas wilayah
incaran, yang secara politik pasti memiliki keistimewaan-keistimewaan
tersendiri. Inggris yang berambisi demikian atas Mesir, begitu pula Jerman.
Karena Mesir merupakan sebuah Negara yang memiliki posisi strategis, terletak
di sebelah suriah dan hijaz; tanah subur menumbuhkan berbagai tanaman biji-bijian,
dan Negeri itu menjadi pintu masuk ke Afrika Utara.[16]
Pada tahun 1517 M Mesir dikuasai oleh kerajaan Turki
Osmani di bawah pemerintahan Sultan Salim I, 1796 Mesir merdeka dari turki
Osmani, 1797 Perancis berhasil memasuki Mesir melalui Alexandria yang dipimpin
oleh Napoleon, 1801 jatuh di tangan kuasa Turki Osmani kembali setelah mengusir
Perancis dari Mesir. Kerjasama antara turki Osmani, Inggris, dan Mamalik. Juli
1085 M Mesir dipegang oleh Muhammad Ali Pasha (pendiri Mesir Modern). Maret
1807 Inggris melakukan agresi militer di Mesir, Agustus 1807 berkat kelihaian
Muhammad Ali Pasha dalam berdiplomasi Inggris dapat di pukul mundur. Pada masa
Ali inilah kekuasaan Mesir meluas sampai ke Sudan, Syiria, bahkan para
tentaranya turut pula berperang bersama Turki di kepulauan Yunani, Asia Kecil,
hingga Eropa Timur. 1840 Sultan Osmani atas tekanan Inggris mengasingkan
Muhammad Ali Pasha, sehingga Mesir diganti dan dibawah kepemimpinan Abbas I
(1848-1854) dan Said Pasha (1854-1863). Pada kepemimpinan keduanya mesir
mengalami kemerosotan. 1863-1879 Khedive Ismail memimpin, dia mampu memperbaiki
kembali kehidupan politik sosial Mesir. Namun disisi lain Mesir mengalami
kemerosotan ekonomi akibat pembangunan terusan Suez dan campur tangan asing yang berlebihan.
Sultan Ottoman mencopot jabatan Khedive Ismail dan diganti dengan putranya yang
bernama Taufiq. Kedekatannya Taufiq dengan Inggris menjadikan politik manis
untuk menguasai Mesir. Hingga munculah gerakan revolusi yang dipimpin Ahmad
Orabi, namun Inggris tetap melakukan Agresi militer. Seteleh pertempuran
beberapa kali di kawasan Delta, dan akhirnya Inggris mampu menguasai Cairo pada
14 Desember 1882. Karena Mesir membantu Turki dalam perang Dunia I melawan
sekutu (termasuk diantaranya Inggris) pada tahun 1914 Inggris melepaskan Mesir
dan Turki Osmani.[17]
Seusai perang Dunia I, November 1918 Saad Zaghlul seorang
pahlawan besar Mesir, berusaha dan berjuang menuntut kemerdekaan dari Mesir
dari Inggris, yang berakibat penangkapan dan pengasingan dirinya. Namun
penangkapan dan pengasingan berinfeksi terhadap kemarahan rakyat Mesir, 9 Maret
1919 terjadilah revolusi besar menentang Inggris di Cairo dan diikuti oleh seluruh
penjuru Mesir , akhirnya Inggris merubah kebijakan politiknya dan membebaskan
Saad Zaghlul.[18]
Penjajahan Inggris dan campur tangan asing
yang merajalela serta rentetan perang palestina 1948, sistem kerajaan
yang menindas rakyat dan tidak adanya demokrasi yang mengakibatkan merosotnya
ekonomi serta rusaknya kehidupan sosial, memaksa kepada seluruh rakyat Mesir
untuk meneriakkan satu kata: “revolusi”. Tanggal 23 Juli 1952 Dhubat al-Ahrar
(dewan jendral) dibawah pimpinan Gamal Abdel Naser,[19]
bergerak menguasai pusat-pusat pemerintahan dan sarana-sarana vital lainnya,
serta mengepung istana Abdeen. Dan menyiarkan lewat satelit radio bahwa
pengambil alihan kekuasaan di Mesir.[20]
Najib Mahfudz Novelis yang dilahirkan pada 21 Desember 1911,
di kampung al-Jamaliah, kota bagian Cairo, Mesir. Mahfudz tergolong Novelis
yang sangat peka terhadap ketidakadilan sosial dan mengecam keras tindak
korupsi serta penindasan yang menimpa masyarakat Mesir. Dalam periode novelnya,
Mahfudz mulai berkarya pada tahun 1932, dalam karyanya baik novel maupun
ontologi novel tidak kurang dari 46 Novel. Sesampai umurnya 33 tahun (1994) ia
mempunyai karya dari penanya tidak kurang dari 70 buah novel. Periode novel
pertama bernuansa romantis, realis, simbolis dan filosofis. Ia pula
novelis arab pertama yang memperoleh Nobel dan pemenang hadiah ke-8 dari Dunia
Ketiga.[21]
Mesir pada tahun 1941 tepatnya di daerah Sakanini dan
Khan al-Khalili yang terekam dalam novel manisnya berjudul Khan al-Khalili.
Dalam novel tersebut di bagian awal bagian pertama dan kedua ia menceritakan
bagaimana keadaan di saat Sakanini sebagai saksi brutal antara Inggris dan Jerman.
Keduanya menghujankan rudal, menghiasai langit di tengah malam hari dengan
cahaya mirip kembang api, namun mencemaskan penduduk, mereka tidak dapat tidur,
sirine saling bersautan, warga masyarkat dari anak-anak sampai kake-kakek
ketakutan dan mencari persembunyian. Namun apa daya mereka melawan tanpa
menggunakan peralatan semisal.
Ahmad Akif Affandi putra Akif Affandi Ahmad, remaja yang
rela dan tulus memperjuankan nasib keluarganya, meskipun dia memiliki cita-cita
untuk menjadi hukum, ilmuan, bahkan sampai sastrawan. Namun karena bapaknya
Akif Affandi Ahmad entah alasan penyebab apa yang menyebabkan dia dikeluarkan “dipecat”
bahasa halusnya di PHK dari pekerjaannya sebagai pegawai. Bahkan dia divonis
tidak boleh menjadi pegawai Negeri dimanapun ada. Dengan demikian Ahmad Akif
Affandi tidak sampai hati untuk melanjutkan kuliahnya sampai setinggi cita-cita
yang ia bayangkan dan dia impikan.
Akhirnya dia memutuskan untuk membantu bapaknya, saat itu
ia masih berumur 23 tahun, ia menjadi pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
selama 20 tahun lebih ia tidak sempat menikah karena memikirkan keluarganya, bahkan
dia menjadi penanggup jawab layaknya kepala keluarga. Dari kebutuhan setiap
hari, baik pokok maupun sekunder. Dia juga memikirkan bagaimana akan nasib
adiknya sehingga dia berkomitmen akan membiayai pendidikan adiknya. Namun di
balik kesemua keikhlasan menggatikan posisi layaknya bapak, ia juga memiliki
sifat manusiawi diantaranya keras kepala, tidak mau mengalah dalam perdebatan
meskipun salah, dan sebagainya.
Dalam novel tersebut seolah mencerminkan sikap yang oposisi
biner sekaligus ambivalensi. Meskipun satu sikap yang tercermin dari tokoh
novel itu baik, satu sisi dia sebaliknya. Dalam novel itu pula terdapat ambisi
rakyat untuk bebas dari kolonialisme bangsa asing. Mereka melalui berbagai cara
untuk menyelesaikan problem tersebut. Diantaranya dalam diskusi mereka yang
terjadi di tempat nongkrong warung milik Muallim Nunu. Nasionalisme yang
muncul dari para tokoh tergambar meskipun terdapat beberapa rasa nasionalisme
yang tidak tercermin secara tersurat serta dalam bentuk yang problem (majemuk).
Menurut amat penulis nasionalisme dalam sebuah novel itu,
tidak harus berbentuk seperti halnya nasionalisme rakyat Mesir 2011 yang mampu
menggulingkan pemerintahannya Husni Mubarok, diantaranya melalui facebook.
Tidak pula seperti nasionalisme rakyat syiria. Namun nasionalisme tokoh yang
entah bagaimanapun cara, bersinergi membangun peradaban wilayahnya untuk bebas
dari keterpurukan, kebodohan, kemiskinan, terutama mampu membebaskan dari
campur tangan kolonialis Barat (Inggris, dan Jerman). Sehingga mampu membentuk masyarakat yang
madani.
Dari paparan-paparan peneliti diatas, beberapa alasan
yang melatar belakangi pemilihan penelitian, yaitu kajian Nasionalisme dalam
Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh melalui perspektif
Post-Kolonial sebagai berikut:
Pertama pemilihan novel modern karya Najib Mahfudh sangat tepat,
karena ia termasuk rakyat jajahan Dunia Ketiga. Ia pula sebagai saksi hidup
beberapa serangan Barat yang dalam hal ini Inggris dan Jerman. Kedua novel
Khan al-Khalili merupakan karya realis sasksi bisu kolonialime yang terdapat di
Mesir. Tentu apapun hal yang sifatnya ada penjajahan pasti akan ada anti
penjajahan. Anti penjajahan demikianlah yang diantaranya, terindikasi sebagai wadah
inspirasi pememberontakan serta pembebasan dari kolonialisme. Pemberontakkan
yang demikianlah dinamakan nasioalisme yang peduli akan keberlasungan Negaranya.
Ketiga peneliti memilih penelitian berfokus pada nasionalisme dengan
menggunakan kritik post-kolonial, disebabkan novel Khan al-Khalili menawarkan
gagasan nasionalisme yang tergambarkan pada tokoh-tokoh novel tersebut, dengan
unik, menarik serta bervariasi diantara satu dengan yang lainnya. Keempat kajian
terhadap novel perspektif post-kolonial masih jarang dilakukan oleh para
peneliti, terutama oleh mahasiswa Adab sendiri. Padahal menurut amat peneliti
justru kajian perspektif post-kolonial sangat diperlukan demi terbongkarnya
misi-misi Barat, dengan kolonialismenya. Keenam post-kolonial merupakan
sebuah teori postrukturalisme yang wilayah kajiannya sangat luas, mulai dari
sejarah, politik, ekonomi, budaya, sastra. Maka peneliti mengkerucutkannya
melalui sastra, meskipun demikian peneliti hanya menampilkan sudut nasionalisme
saja, guna keefisiensinya sebuah penelitian.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, beberapa permasalahan
yang diungkapkan dalam peneliti ini, secara spesifik, bila di rumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Novel tersebut merekam gagasan-gagasan nasionalisme serta
realisasinya dalam membebaskan Negaranya pengarang, melalui tokoh-tokoh dalam
novel dari pengaruh dan kolonialisme Barat (Inggris dan Jerman), apakah
gagasan-gagasan nasionalisme tersebut bersifat universal atau partikular ?.
2. Bagaimana ambivalensi gagasan-gagasan nasionalisme yang bersemayam dalam
novel tersebut menunjukkan realitas pengaruh budaya dan kolonialisme
berlangsung?.
3. Bagaimana dekontrusi menyelesaikan berkaitan problematis tersebut, yang
ditawarkan dengan adanya ambivalensi-ambivalensi sikap nasionalisme dalam
rangka realisasi kemerdekaan dan kebebasan dari dunia Barat ?.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian secara teoritis adalah (a) mengungkap
ekpresi nasionalisme yang ditawarkan oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya,
dalam rangka ikut serta membebaskan dan memerdekakan Negaranya Mesir dari
kolonialisme Barat, apakah nasionalisme tersebut bersifat universal atau
bersifat partikular. (b) mendeskripsikan ambivalensi-ambivelensi gagasan
nasionalisme yang telah diangankan oleh
novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh. (c) memalui studi
kajian analisi post-kolonial yang termasuk teori kajian postrukturalisme maka
tidak terlepas dari dekontruksi, dengan melalui kajian novel Khan al-Khalili
karya Najib Mahfudh, peneliti mengungkankan bagaimana dekontruksi terhadap
ambivalensi-ambivalensi yang terekam dalam novel tersebut, yang kesemuanya
tersebut hanya demi membebaskan dari pengaruh kolonialismenya Barat dan
antek-anteknya.
Adapun manfaat penelitian secara praktis, jelas
menambahkan koleksi kajian dalam perspektif post-kolonial yang belum banyak
mahasiswa Adab mengkajinya. Disatu sisi kajian ini bermanfaat bagi peneliti
secara kusus, serta peneliti lain yang tertarik dengan kajian post-kolonial
sebagai sebuah teori analisis yang mengungkapkan kolonialisme-kolonialisme,
yang saat ini masih merajalela di jagat dunia. Padahal kolonial secara aturan
aqidah itu tidak dibenarkan karena sudah merampas hak dan kelayakan hidup orang
lain.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan informasi baik melalui daftar judul skripsi
yang terekam dalam daftar judul pengendalian judul, serta Sia perpustakaan UIN
Suka. Sejauh pengamatan peneliti sebagai berikut, pertama terdapat
beberapa judul yang kajian objeknya sama, dengan peneliti namun teori yang
digunakan untuk mengkajinya berbeda jauh, yaitu:
1. Skripsi Edi Safa’atno (9110878). Riwayat Khan al-Khalili Li Najib Mahfuz:
“Dirasah Tahliliyah Ijtima’iyah.”
2. Skripsi Agus Ikhsan : Amarat al dhihan li Shakhsi al awwal fi riwayah
Khan al Khalili li Najib Mahfuz: “Dirasah Tahliliyyah Psikolujiyyah Adabiyyah.”
3. Skripsi Lukis, Alam Fak. Adab UIN SUKA - Yogyakarta – 2005 yang berjudul Shakhsiyyah
Ahmad 'Aqif fi Khani al Khaliliy Li Najib Mahfuz.
Dalam kajian ketiga judul tersebut, meskipun objek kajian
sama, namun karena alat bedah yang digunakan berbeda, pasti berbeda pula
hasilnya atau kesimpulannya. Pertama skripsi karya Edi Syafa’at ia
mengkritisi novel tersebut dengan studi analisis sosiologis, ia menggambarkan
bagaimana keadaan-keadaan sosial yang terjadi meliputi sosial itu sendiri,
politik, ekonomi, dan agama. Kedua Skripsi Agus Ihsan, membatasi
kajiannya pada struktur kepribadian tokoh utama, dan bagaimana deskripsi psikologis
pada penokohan tokoh utama dalam hal ini Ahmad Akif Afandi. Iapun menyimpulkan
bahwa ia menemukan symptom psikosis pada tokoh utama, disamping
faktor-faktor yang mempengaruhi psikis tokoh utama, serta kepribadiannya
menurut pandangan psikologi Gestalt. Ketiga sekripsi karya Alam Lukis,
menceritakan kepribadian semata yang di alami oleh tokoh Ahmad Akif Afandi,
diapun menggunakan studinya melalui teori-toeri psikologis yang dimiliki oleh
Freud. Dari ketiga skripsi diatas jelas tidak sama dengan apa yang dikaji oleh
peneliti. Meskipun pada dasarnya kajian post-kolonial terlahir dari pakar
psikologis dan sosialis, namun bukan pemisahan dari psikologis dan sosiologis,
tapi analisis penggabungan antara keduanya yang penekanannya pada novel karya
negara dunia ketiga. Dan kajian analisis post-kolonial itu, menurut Prof.
Nyoman, itu syarat akan adanya sebuah dekontruksi. Dengan demikian semakin
jelas dan nampak kajian seperti ini belum pernah ada yang mengkaji. Dalam tanda
kutip, berkaitan dengan obyeknya yakni Novel Khan al-Khalili karya Najib
Mahfudh.
E. LANDASAN TEORI
Teori secara bahasa, berasal dari
bahasa latin theoria[22]
yang berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori dalam dunia
keilmuan diartikan sebagai perangkat pengertian, konsep, proposisi yang
mempunyai korelasi, dan telaah teruji kebenarannya.[23]
Teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk
memberikan penjelasan mengenai sejumlah fenomena (Liang Gie, 1984:57). Teori
memegang peranan terpenting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Hassan dan Koentjaraningrat, 1979:19). Yang perlu diperhatikan
adalah teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, melainkan harus dianggap
sebagai petunjuk
hipotesis (lih. Tan, 1979:32).[24]
Teori strukturalisme[25]
berkembang sejak tahun 1930, kurang lebih setengah abad. Hingga pada tahun 1980
sturkturalisme direvisi dengan poststrukturalisme[26].
Heroisme (kegagahan) sturkturalis dalam menguasai dunia tanda, oleh kelompok
pasca strukturalis dijadikan semacam komik, antiheroik. Secara bahasa
postrukturalisme tersusun dari kata post + struktur + isme yang berarti
paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual
akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks post memiliki padanan
seperti ‘para’, dan “akhir’. Keduanya telah digunakan jauh sebelumnya, contoh
post-industri, para-Marxis, akhir manusia, akhir sejarah, dan sebagainya. Pada
tahun 1870-an John Watkins Chapman telah menggunakan istilah Postmodernisme
(Paham sesudah modern). Namun istilah postmodernisme muncul kembali tahun
1930-an oleh Federico de Onis, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun
1960-an. Pendapat lain mengatakan bahwa pelopor istilah postmodernisme adalah
Arnold Toynbee (1870-an) atas dasar pertimbangan terjadinya pergeseran
kebudayaan barat kearah irasionalitas dan relativisme.[27]
Strukturalisme memandang bahwa bahasa tidak sekedar
mencerminkan atau merekam dunia: bahasa membentuk dunia, hingga cara kita
melihatnya adalah apa yang kita lihat. Menurut kaum postrukturalis, konsekuensi
dari kepercayaan ini adalah bahwa kita memasuki sebuah alam semesta berisi
ketidak pastian radikal, sebab kita tidak memiliki akses petanda (hal yang
ditandai) yang tetap dan berada di luar pemprosesan linguistik, dan karenanya
tidak memiliki standar yang pasti untuk mengukur apapun.[28]
Namun lebih jelas dan berguna bila disampaikan perbedaan dan kekhasan antara
stukturalisme dan postrukturalisme sebagai berikut; 1 asal
usul, strukturalisme sebagian besar berasal dari linguistik. Linguistik
disiplin ilmu yang pada dasarnya yakin akan adanya kemungkinan menetapkan
pengetahuan objektif. Sedangkan postrukturalisme sebagian besarnya berasal dari
filsafat. Filsafat adalah disiplin ilmu yang selalu cenderung menekankan
sulitnya memperoleh pengetahuan yang pasti tentang segala hal. Sudut pandang
ini dirangkum dalam ucapan Nietzsche yang terkenal “Fakta itu tidak ada, yang
ada hanya interpretasi.” 2 Sifat dan gaya. Tulisan
strukturalis cenderung bersifat abstrak dan rampat: ia bertujuan sifat tidak
memihak, ‘ketenangan ilmiah’. Sedangkan tulisan postrukturalis cenderung lebih
emotif. 3 Sikap terhadap bahasa. Kaum strukturalis percaya
bahwa dunia dikontruksi melalui bahasa, kita tidak memiliki akses kerealitas
kecuali melalui medium linguistik. Bagaimanapun bahasa adalah sistem yang
teratur, bukan kacau-balau. Sedangkan postrukturalisme yang bersifat jauh lebih
fundamentalis dengan bersih kukuh tentang konsekuensi dari pandangan bahwa,
pada efeknya, realitas itu sendiri tekstual. Postrukturalisme beranggapan bahwa
tidak memperoleh pengetahuan apapun dari bahasa. Mereka memahami akan tanda
verbal itu terus-menerus mengapung dan bebas dari konsep. Oleh sebab itu
pemahaman mereka atas tanda dilogikakan dengan agak obsesif dan didasarkan
pada-zat-zat cair. Sehingga berkesimpulan tanda-tanda mengapung bebas dari apa
yang ditunjukannya sedang makna bersifat cair dan senantiasa tergelincir atau
tumpah. 4 Proyek. Artinya tujuan fundamental yang dimaksud
kedua aliran tersebut. Strukturalisme mempertanyakan bagaimana caranya
menstrukturkan dan mengategorikan realitas dan terlepas dari mode-mode
persepsi. Sedangkan postrukturalis lebih fundamental ia tidak mempercayai
gagasan nalar dan ide manusia adalah entitas independen, mereka lebih memilih
gagasan akan subjek yang ‘lesap’ atau ‘dikontruksi’ dengan begitu, apa yang
dianggap bersifat individual sesungguhnya merupakan produk dari kekuatan sosial
dan linguistik, artinya sama sekali bukan esensi melainkan sekedar jaringan
tekstualitas.[29]
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’
dan ‘kolonial’, sedangkan kata kolonial berasal dari kata coloni, bahasa
romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi secara etimologis
kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi
ekploitasi lainnya. Kolonial bermakna negatif sesaat terjadi interaksi yang
tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang
sebagai penguasa.[30]
Namun dalam keterangan lain menerangkan bahwa kata post pada kata
Poskolonial, sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial
kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berarti pasca atau
permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari
kolonialisme.[31]
Ania Loomba menjelaskan bahwa penaklukan terhadap sebuah
wilayah sudah sejak dari dulu sudah terjadi, misalkan pada tahun 1122 SM
dinasti shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti chau, kekaisaran Romawi abad
ke-2 SM menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, pada tahun 712 lembah sungai
Indus ditaklukkan oleh Muhammad bin al-Qasim, bangsa mongol abad ke-13
menguasai Timur Tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke-14 dan kerajaan Inca abad
ke-15 menaklukkan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Sedangkan aksi kolonialisme
negara-negara Eropa Modern baru mulai sekitar abad ke-16.[32]
Fanon pada tahun 1961[33]
dalam bukunya yang berjudul The Wretched of Eart[34]
di terbitkan di prancis, ia menyuarakan akan “perlawanan kultural”,
terhadap Imperium Afrikanya Prancis. Ia menawarkan dua langkah untuk
mengembalikan dan bebas dari lilitan kolonialis Eropa bahwa langkah pertama
bagi orang terjajah untuk mendapatkan suara dan identitas adalah dengan
menuntut ulang masa lalu mereka. Adapun langkah kedua adalah mengikis idiologi
kolonialis yang digunakan untuk merendahkan masa lalu tersebut.[35]
Fanon menyimpulakn bahwa melalui dikotomi kolonial,
penjajah-terjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi
psikologis yang sangat dahsyat. Sedangkan yang dimaksud teori poskolonial
adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural,
seperti : sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebagainya, yang terjadi di
negara-negara bekas koloni Eropah Modern. Adapun gejala kultural yang dimaksud
sebuah sebuah teks yang merekam budaya atau kultur yang ditulis oleh orientalis
(orang timur). Meskipun demikian, terdapat penulis oriental yang sudah
berbudaya selayaknya barat, sehingga
pikiran pehaman mengacu pada budaya barat, ia sudah terkonstruksi pemikiran
Barat. Visi postkolonial adalah menelusuri pola-pola pemikiran kelompok
orientalis dalam rangka membangun superioritas orang barat, dengan konsekuensi
logis terjadinya inferioritas timur, oleh karena itu menurut Said, sasaran visi
postkolonial adalah subjek intelektual Barat. Teori poskolonial mencakup seluruh
hazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal
kolonisasi hingga sekarang. Tema kajian poskolonial sangat luas dan beragam,
hampir meliputi seluruh aspek kebudayaan, diantaranya: politik, idiologi,
agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa
dan sastra. Poskolonial terbagi tiga pengertian 1 abad berakhirnya
imperium kolonial diseluruh dunia. 2 segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial,
3 teori-teori yang digunakan untuk menganalis masalah-masalah
pascakolonialisme.[36]
Kolonialis
bekerja tidak hanya melalui fisik, berupa peperangan, penyerangan, namun
melalui pengetahuan. Dalam hal ini Nyoman menawarkan bahwa keberhasilan Eropa modern
dalam menguasai kolonialisme tidak semata diakibatkan oleh kekuatan fisik, ada
kekuatan lain justru lebih berperan, yaitu wacana. Senjata transparan yang
tidak mudah diketahui maksud dan tujuan jelas. Sedangkan penjajahan malalui
fisik nampak jelas.
Terdapat dua tujuan besar yang dicari dan justru hal itu
menjadi key of colonialism dalam menguasai sebuah wilayah, yaitu
kekuatan dan kelemahan sebuah wilayah.[37]
Menyanjung akan kekuatan yang dimiliki sebuah wilayah, serta memanfaatkan
kelemahan-kelemahan sekaligus menjadikan kelemahan tersebut, sebagai medan
strategis untuk mengekploitasi kekayaan dan khazanah yang ada di wilayah
jajahan. Bahkan lebih ektrim menjadikan wilayah jajahan sebagai budak suruhan
dengan durasi 24 jam free honor.
Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan,
pengurangan, penolakan. Sehingga dekontruksi dapat di artikan cara-cara
pengurangan terhadap suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan
susunan yang sudah baku, bahkan universal. Derrida[38]
(1976) mengemukakan bahwa dekontruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme
dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner[39]
dan cara-cara berpikir lainya yang bersifat hierarki dikotomis. Kemudian Kristeva
(1980: 36-37) menawarkan pengertian bahwa dekonstruksi merupakan gabungan
antara hakekat destruktif dan konstruktif. Dekontruksi adalah cara membaca teks
sebagai strategi. Dekontruksi semata-mata tidak ditunjukan terhadap tulisan,
tetapi semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah
teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Said (2001:55) dekontruksi terhadap wacana-wacana
kolonialis penting untuk menyadarkan bangsan Eropa, bahwa teks-teks orientalis
penuh dengan bias cultural, sekaligus menghapuskan mitos bahwa masyarakat barat
adalah dinamis sedang bangsa Timur adalah statis, barat memiliki ciri-ciri
maskulin sedang Timur Feminin.[40]
F. METODE PENELITIAN
Metode adalah cara kerja memahami objek suatu penelitian.[41]
Sehingga metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih
dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data).[42]
Penelitian dalam bidang sastra pada umumnya dikenal dengan dua jenis
penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian
lapangan (field research).[43]
Dalam hal ini peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
artinya penelitian dilakukan dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji
berbagai litaratur atau bahan-bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan
topik penelitian.[44]
Data-data yang digunakan sebagai acuan melakukan
penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua jenis data, yakni data primer dan
sekunder:
1. Data primer, yang digunakan peneliti adalah karya Najib Mahfudh. yang
berjudul Khan al-Khalili terbitan Daru al-Mishr Lithoba’ah. Kemudian
peneliti dalam memudahkan memahaminya, peneliti menggunakan hasil terjemahan
yang di terjemahkan oleh Fahrurroji M. Bukhori, terbitan pustaka Jendela tahun
2003. Yang berjudul Lelaki dalam Pasungan.
2. Adapun data sekunder, peneliti mencari reverensi yang berkaitan baik dari
buku, jurnal, kamus, artikel bahkan kamus.
Adapun proses pembahasan penelitian ini adalah pertama
pengumpulan data-data sumber tertulis (buku, laporan penelitian, makalah,
jurnal, ensiklopedi, kamus, dan lain-lain)
yang berkaitan dengan topik kajian penelitian. Kedua pengklasifikasian
dan penyeleksian data sesuai dengan kepentingan yakni sesuai dengan prosedur
teori analisis. Ketiga setelah dirasa teori cukup, data yang terdapat
dalam novel dianalisis melalui beberapa tahap, yakni melalui kajian intrinsik
terlabih dahulu, kemudian menganalisis dengan gagasan nasionalisme yang
dikaitkan bagaimana caranya post-kolonial bekerja, setelah itu karena
post-kolonial syarat dengan dekontruksi maka finising analisis peneliti
menggunakan teori dekontruksi. Keempat menyusun laporan dan merivisi
laporan sesuai dengan menggunakan pedoman ilmiah yang telah di tetapkan.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Laporan penelitian berjudul,
القومية فى رواية "خان الخليلي" الذى
ألفها روائي نجيب محفوظ: "دراسة تحليلية ما بعد إستعمارية."
Nasionalisme
dalam Novel Khan al-Khalili karya Najib Mahfudh: “studi analisis post-kolonial.”
Disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab
pertama merupakan
bab pendahuluan. Bab ini terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitan dan pembahasan
kemudian ditutup dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua Mesir, Modernitas Novel dan
Nasionalisme. Terdiri dari tiga sub judul yaitu pertama Mesir dan pengalamannya
dalam campur tangan bangsa Asing. Kedua Riwayat perkembangan novel Mesir.
Ketiga nasionalisme Mesir dalam rekaman sejarah.
Bab
ketiga, Nasionalisme dalan Novel Khan al-Khalili. Bab ini memuat tiga sub bab, pertama
menjelaskan gagasan nasionalisme tokoh yang terekam dalam novel. Kedua ambivalensi-ambivalensi
sikap para tokoh, kemudian ketiga mendekontruksi kemapanan teori nasionalisme
yang berseberangan dengan teori nasionalisme pada kenyataannya.
Bab
keempat merupakan kesimpulan analisis pembahasan. Laporan penelitian ini juga
diakhiri dengan daftar pustaka kajian serta lampiran-lampiran yang dirasa
dibutuhkan.
H. KERANGKA
PENULISAN SKRIPSI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN
PENGESAHAN
PERNYATAAN
PERSEMBAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I:
PENGANTAR
1.
Latar
Belakang
2.
Rumusan
Masalah
3.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
4.
Tinjauan
Pustaka
5.
Landasan
Teori
6.
Metode
Penelitian
7.
Sistematiaka
Pembahasan
BAB II: MESIR,
MODERNITAS NOVEL MESIR DAN NASIONALISME
1.
Mesir
dan Pengalamannya dalam Campur Tangan Bangsa Asing
2.
Riwayat
Perkembangan Modernitas Novel Mesir
3.
Nasionalisme
dalam Rekaman Sejarah
BAB III:
NASIONALISME DALAM NOVEL KHAN AL-KHALILI
1.
Nasionalisme
Tokoh-Tokoh dalam Novel
2.
Ambivalensi-Ambivalensi
Sikap antar Tokoh
3.
Dekontruksi
Terhadap Sebuah Kemapanan
BAB IV:
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Najib Mahfudh. Khan al-Khalili. Darun
Mishr Lithoba’ah
Thahan, Raihan dkk. Adabul-Buhȗts
al-Jȃmi’iyah al-Lughawiyah wal- adȃbiyah. Dȃrulkutub al-Lubnani- Beirut.
Maria. Asasu ‘ilmu al-Lughah.
(Penerjemah dan pentahqiq: Ahmad Mukhtar Umar). ‘Ȃlimu al-Kutub.
Abidin, Zainal. Abdulqadir; “Mudzakarah fi Tarikhi al-Adabi al-‘Arabi lilqismi
al-Taujih”; diwan Bahasa dan Pustaka kementrian Pendidikan Malesyia
KualaLumpur.
Dayf, Syauqi. 1961.al-Adabi al-Arabi
al-Ma’ashir. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra
dan Culture Studis: Presentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Cet III.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kususastraan. Di
Indonesiakan melani budianti. Jakarta: gramedia Pustaka Utama. Cet IV.
Tim Pustaka Agung Harapan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
CV. Pustaka Agung Harapan.
Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Gitamedia Press. Cet. I.
Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta:
Pustaka pelajar. Cet. I.
endrastomo, Grendi. 2007. Dimensia. Vol. 1. No. 1.
Hitti, Philip K. 2005. History of the Arabs. Penerjemah:
Dedi Slamet Riadi, Qomarudin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semeste. Cet. I.
http://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/gamal-abdul-naseer/ (21/2/2012) 15.01 WIB.
http://deburanombak.com/2011/02/sejarah-perjuangan-mesir/ (21/2/2012) 15.01 WIB.
Mahfuz, Najib. 2003. Lelaki dalam Pasungan. Penj. Pahrurraji
M. Bukhori. Yogyakarta: Jendela. Cet.III.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, metode, dan Teknik Penelitian
Sastra.Yogyakarta: Pustaka pelajar. Cet. IV.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian
Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Cet. I.
Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif
Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini.
Yogyakarta: Jalasutra. Cet I.
Nurhadi. 2007. Poskolonial: Sebuah Pembebasan. Sebauh
artikel yang dipresentasikan di Seminar rumpun sastra di FBS UNY.
Yudiono. 1990. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung:
Angkasa.
T. Fatimah Djajasudarma. 1993. Metode Linguistik. Bandung:
Eresco.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2004. Buku Pedoman Penulisan dan
Konsultasi Tesis. Semarang: Progam Magister Ilmu Susastra Undip.
Rahman, Dudung Abdur. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta. Hal. 7.
Warson. A.M. Al-Munawir Arab Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progresif.
Warson. A.M. Al-Munawir Indonesia Arab.
Surabaya: Pustaka Progresif.
Ali, Atabik. A. Zuhri Mudlor. Kamus
Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
__________. Al-Munjid Fi Lughoh wal A’lam.
Darul Masyriq Beirut, Edisi 41.
Imaddudin, Basuni. Nashiroh Ishaq. Kamus
Idiom Arab Indonesia Pola Aktif. Ulinuha Press.
Echols, John. M., Hasan Shadily. 2005. Kamus
Inggris Indonesia. Jakarta: Pt. Gramesia. Cet. 24.
Dloif, Syauqi, dkk. 2004. Mu’jam Al-Washit.
Penerbit Asyuruq ad-Dauliyah. Cet. 4.
Ba’albaki, Rohi. Kamus Maurid. Dar
el-ilm Lilmalayin.
[1] Ratna, Nyoman
Kutha. 2010. Sastra dan Culture Studis:
Presentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet III. Hal. 4.
[2] Ibid hal. 5.
[3] Ibid hal. 5.
[4] Ibid hal. 6.
[5] Ibid hal. 14.
[6] Hubungna tanda paradikmatik artinya sebuah tanda, kata, atau
istilah, yang digunakan dalam sebuah tindakan berbahasa seolah-olah muncul
sebagai pusat konstelasi, yakni sebuah titik tanda-tanda lain berkonvergensi dan berkoordinasi melalui
penalaran tertentu. Sedang sebaliknya adalah hubungan tanda sintagmatik yaitu
hubungan antar tanda yang hadir secara berurutan dalam satu linieritas tindakan
berbahasa. (widada, 2009: 21).
[7] Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kususastraan. Di
Indonesiakan melani budianti. Jakarta: gramedia Pustaka Utama. Cet IV. Hal.
109.
[8] إِنَّ
الْإِنْسٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا ١٩ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا ٢٠ وَإِذَا
مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا ٢١ (سورة
المعارج : ١٩-٢١ )
[10] Tim Pustaka
Agung Harapan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: CV. Pustaka Agung
Harapan. Hal 451., Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Gitamedia Press. Cet. I. Hal. 333.
[11] Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta:
Pustaka pelajar. Cet. I. hal. 3.
[12] Kemaharajaan penguasaan tertinggi (Osman: 1982: 275); kerajaan,
kekaisaran (KBBI: 2005: 427); kekuatan atau kekuasaan yang maha besar, hak memerintah
(Peter, Yeny :KBIK:1991).
[14]Nasikun, dkk. 1996. Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuan. Yogyakarta:
Pustaka pelajar. Cet. I. hal. viii.
[15] Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh
tradisi itu adalah wajar dan patur dihormati. Wewenang karismatik berdasarkan
kepercayaan anggota masyarakat pada kesaksian kekuatan mistik atau religius
seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepada kepercayaan pada
tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang
ditekankan bukan orangnya, akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah
lakunya.
[16] Hitti, Philip
K. 2005. History of the Arabs. Penerjemah: Dedi Slamet Riadi, Qomarudin
SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semeste. Cet. I. Hal. 199.
[17] http://www.acehforum.or.id/showthread.php?t=3427&pagenumber (21 Februari 2012, pukul 15.01 WIB).
[18] Saad Zaghlul
seorang pahlawan besar Mesir meninggal pada tanggal 23 Agusutus 1927 M.
[19]
Gamal Abdul
Nasser (1918-1970) presiden kedua Mesir. Aktif dalam gerakan Mesir menentang
penjajahan dan kekuasaan asing.
http://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/gamal-abdul-naseer/ (21/2/2012) 15.01 WIB.
[21] Mahfuz, Najib.
2003. Lelaki dalam Pasungan. Penj. Pahrurraji M. Bukhori. Yogyakarta:
Jendela. Cet.III. Hal. 477-480.
[22] Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta:
Pustaka pelajar. Cet. IV. Hal. 1.
[23] Ibid hal. 1.
[24] Kesuma, Tri
Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta:
Carasvatibooks. Cet. I. Hal. 37.
[25] Strukturalisme
berkembang pada awal abad ke-20 (1915-1930), secara historis teori-teori
strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: Formalisme dan Stukturalisme
Dinamik.
[26] Kemunculan
teori-teori postrukturalisme karena merasa bahwa teori terdahulu memiliki
kelemahan dan perlu untuk di perbaiki. Adapun kelemahan strukturalisme: 1 model
analisis struturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu
kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan sistem tertentu, 2 strukturalisme
terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas
otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subyek manusianya
(pengarang dan pembaca), 3 hasil analisis hanya untuk sastra itu sendiri
bukan kepentingan masyarakat secara luas. (Nyoman, 2008: 143-144).
[27] Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal. 145-146.
[28] Barry, Peter.
2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya.
Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal.
71.
[29] Barry, Peter.
2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya.
Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal.
73-76.
[30] Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal. 205.
[31] Nurhadi. 2007.
Poskolonial: Sebuah Pembebasan. Sebauh artikel yang dipresentasikan di
Seminar rumpun sastra di FBS UNY. Hal. 2.
[32] Ania Loomba
(2003:2-3) dikutib oleh (Nyoman, 2008:205).
[33] Versi bukunya
pak Nyoman terbit tahun 1967, dengan judul buku Black Skin, White Masks and
The Wretched of the Eart, karya Frantz Fanon. Menurut Shelley Walia
(2001:6; Said,2003:58-59) merupakan proyek poskolonialisme pertama kali.
(Nyoman, 2008:206).
[34] Karya-karya
terkait kajian poskolonial adalah karya selden (1985) berjudul A Reader’s
Guide to Contempory Literary Theory, Jeremy Hawthorn (1992) dalam karyanya A
Conside Glossary of Contemporary Literary Thaory, Gayartri Spivak (1987) In
Other Worl, Bill Ashcroft (1989) The Empire Writes Back, Homi Bhabha
(1990) Nation and Naration, Edward Said (1993) Culrture and
Imperialism. (Barry, Peter. 2010. Begining Theory: Pengantar
Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya. Penj. Harviyah Widiawati dan Evi
Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I. Hal. 223).
[35] Barry, Peter.
2010. Begining Theory: Pengantar Komperhenshif Teori Sastra dan Budaya.
Penj. Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Cet I.
Hal.224.
[36] Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal 207-208.
[37] Intelektual
Barat mengembangkan proyek ilmu pengetahuan tentang bangsa Timur yang disebut orientalisme. Dengan
dihasilkannya dengan berbagai aspek kajian mengenai bangsa Timur maka dapatlah diketahui kekuatan sekaligus
kelemahan bangsa Timur, sehingga lebih mudah untuk dikuasai.(Nyoman, 2008:
209).
[38] Seorang tokoh
terpenting berkaitan dengan teori dekontruksi, nama panjangnya adalah Jacques
Derrida seorang Yahudi Aljazair kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis (Nyoman, 2008:223).
[39] Kecenderungan
oposisi biner adalah anggapan bahwa unsur yang pertama merupakan pusat,
asal-usul dan prinsip, dengan konsekuensi logis unsur yang lain menjadi
sekunder, marginal manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya.
[40] Ratna, Nyoman
Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. IV. Hal 210.
[41] Yudiono. 1990.
Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Hal. 14.
[42] T. Fatimah
Djajasudarma. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco. Hal. 13.
[43] Prihatmi, Th.
Sri Rahayu. 2004. Buku Pedoman Penulisan dan Konsultasi Tesis. Semarang:
Progam Magister Ilmu Susastra Undip. Hal. 12-14.
[44] Rahman, Dudung
Abdur. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam
Semesta. Hal. 7.
2 Komentar
Kak, saya kirim email ke kakak, tolong dibuka😄
BalasHapusBisa di kirimim ke email saya kak skripsi nya, untuk bahan skripsi saya
BalasHapusSafril.yanda01@gmail.com