METODE (PENDEKATAN) MEMAHAMI HADIS Normatif-Tektual, Historis-Kontekstual, Rejeksionis-Liberal dan Hermeneutika

METODE (PENDEKATAN) MEMAHAMI HADIS

Normatif-Tektual, Historis-Kontekstual, Rejeksionis-Liberal dan Hermeneutika

Oleh Achmad Choirul Umam

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

attuwumgiyu@gmail.com

ABSTRAK

Al-quran dan Hadits adalah sumber primer yang digunakan untuk pegangan bagi ummat nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dalam berabagai aspek perilaku hidup didunia dan bekal untuk kelak di akhirat. Sifat dari al-Quran sebagai sumber adalah qath’i (pasti), sedangkan hadis sebagai sumber itu bersifat dhon (prasangka, perspektif). Meskipun bersifat dhonni, sudah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa hadis adalah sumber primer dalam beragama, dan keberagaman. Dalam tulisan al-faqir ini, sebatas mengulas tentang metode pendekatan kajian hadis modern, untuk memahami makna hadis, yang dipahami oleh penulis semata, dari membaca beberapa literature, yaitu: pendekatan normatif-tektual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika.

Kata kunci: metode memahami hadis, normatif-tektual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika.

 Baca juga: HAKEKAT PENGETAHUAN (Definisi, Jenis, Hakekat dan Sumber)

PENDAHULUAN

Para nabi selain nabi Muhammad SAW. Mendapatkan printah untuk kaumnya yang bersifat sektoral. Sedangkan nabi Muhammad SAW. Mendapat amanah kerisalahan bersifat global di dunia ini. Logika seperti Bangsa Indonesia yang jauh dari Arab, masih menikmati dan merasakan islam yang dibawa dan diajarkan oleh baginda Rosul Muhammad SAW. Bahkan globalnya itu tidak semua umatnya dapat melihat wajah manusia yang teramat mulia ini.

Rasulullah mendapat wahyu yang berupa al-quran, sedangkan sesuatu apapapun yang disandarkan kepada Nabi Muhammad menjadi panutan serta berimpiklasi pada hukum. Oleh karena itu hadis menjadi selalu menarik untuk di kaji maknanya dengan berbagai pendekatan. Para terpelajar masa modern melakukan beberapa kajian degang pendekatan normatif-tektual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika. Yang tentunya akan mewarnai makna-makna hadis. Baik untuk kontek sekarang atau untuk kontek masa-masa yang akan datang. Sudah mendajadi final bahwa Rosululloh terlepas dari nafsu dalam bersikap, berkata, dan sebagainya. Janji Allah dalam hadis Qudsi bahwa setiap apapun yang dantang dan bersumber dari Nabi Muhammad SAW. bersumber dan datang dari Allah SWT.

PEMBAHASAN

A.    Normatif –Tekstual (mafhum al-nash)

Secata terminologi kata normatif artinya adalah berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang berlaku. Sedangkan kata tekstual berasal dari kata teks yang berarti nash, dalam KBBI teks berarti; pertama kata-kata asli dari pengarang. Kedua, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan. Ketiga, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya. Keempat. Wacana tertulis.

Sehingga secara makna kata, normatif tektual adalah membaca, memahami makna teks yang tertulis dari pengarang,[1] didalam kitab suci bertujuan untuk diambil pelajaran atau disampaikan kepada pobyek yang dimaksud (pidato) sesuai kaidah tata bahasa sumber yang dibaca.

Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pengertian hadis, yakni hadis sendiri, sunnah, khabar dan atsar.[2] Istilah-istilah tersebut kesemuanya bersinonim.[3] Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadis secara istilah adalah perkataan, perilaku, sifat serta ketetapan apapun yang disandarkan kepada nabi shollallhu ‘alaihi wasallam, dan atau sesuatu yang disandarkan kepada para shohabat dan tabi’in.

Metode pendekatan normatif-tekstualis yang digunakan untuk meneliti sekaligus mengkaji hadis, berarti mengkaji dan meneliti apapun yang disandarkan kepada nabi Muhammad, serta sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in. dengan demikian jelas bahwa obyek yang dikaji dalam tulisan ini adalah hadis. Sedangkan unsur hadis itu ada tiga, yaitu perawi, teks hadis dan kitab induk hadis. Pendekatan normatif-tekstualis, membahsas seputar tiga komponen tersebut, tetapi lebih menitik beratkan untuk memahami makna teks hadis, berdasarkan makna normalnya teks tersebut.

 Pemahaman tekstual adalah pemahaman makna lahiriah nash (dhahir al-nash).[4] Adapun tekstualnya hadits itu berbahasa arab maka untuk dapat memahami, seseorang harus dapat membaca teks yang berbahasa Arab. Setidaknya ada 12 cabang keilmuan dasar, yang harus dipahami oleh seseorang untuk membaca dan memahami bahasa Arab. Didalam kitab al-qowaid al-asasiyah diterangkan 12 macam cabang ilmu tersebut; yaitu ilmu nahwu, shorof, ‘arudl, qofiah, lughoh, qardl, ingsya’, khath, bayan, ma’ani, isytisqoq, sastra.[5] Hanya saja dari 12 tersebut, setidaknya untuk dapat membaca teks arab, seseorang harus menguasai nahwu dan shorof. Ilmu nahwu membahas tentang susunan kata, sedang ilmu shorof membasas tentang kata. Maka dari itu untuk dapat membaca teks Arab secara redaksi, dua ilmu tersebut dianggap mencukupi.

Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:

a)       Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat).[6]

b)      Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.

c)      Visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bi al-ma‟rûf.

d)      Relasi antara manusia dan tuhan yang bersifat universal.[7]

Contoh memahami dengan metode pendekatan normatif-tekstual:

حدثنا إسحاق بنُ إبراهيم الحنطليُّ قال: أخبرنا عبد الرزاق قال: أخبرنا مَعْمَرٌ عن همَّامِ بنِ مُنَبَّهٍ أنه سمِع أبا هريرة يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ. الصحيح للبخارى (135).

Dari hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang hendak sholat harus berwudlu terlebih dahulu. Apabila tidak berwudlu maka sholatnya tidak diterima, artinya sholatnya tidak sah. Dengan demikian wudlu menjadi hal yang harus dilakukan oleh orang yang hendak sholat. Dalam bahasa fiqih dijelaskan bahwa sesuatu yang dikerjakan sebelum melakukan sesuatu itu dinamakan syarat, sehingga wudlu menjadi syarat sahnya sholat.

B.     Historis - kontekstual (ma’qul al-nash)

Kata kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada didepan atau dibelakang (kata kalimat atau ungkapan) yang membantu menentukan makna. Ada kaum kontekstualis artinya sekelompok orang yang memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada disekitarnya karena ada indikasi makna-makna lain selain tekstual. Sehingga pemahaman kontekstual adalah pemahaman makna yang terkandung di dalam nash (bathin al-Nash).[8] Makna kontekstual dibedakan menjadi dua macam: Konteks internal, terkait bahasa kiasan, metafora, dan simbol. Konteks eksternal, terkait dengan kondisi audiensi dari segi kultur, sosial serta asbab al-wurud.

Kontekstual adalah suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan.[9] Menurut Fazlur Rohman, tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk memahami masa lalu dan mencoba memahami masa kini atas dasar peristiwa atau perkembangan dimasa lampau.[10] Adapun historis-kontekstual adalah memahami hadis nabi berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa hadis itu ditujukan.

Menurut ahhi:

Menurut Muhammad Iqbal (1877-1938) Dalam memahami hadits nabi secara kontekstual harus memperhatikan latar sosiologis dan setting situasional masa nabi dan masa sekarang melalui studi historis, dalam persoalan hukum. Dengan langkah: a) harus membedakan hadis-hadis yang membawa konsekuensi hukum dan yang bukan. b) Harus diteliti, artinya berkaitan dengan pra islam dan saat datangnya islam.

Fazlur Rohman (1919-1988) teori penafsiran situasional terhadap hadis, ada beberapa langkah: a). Memahami makna teks hadis. b). Memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi nabi secara umum, asbabul wurud serta petunjuk quran yang relevan. c). Merumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut untuk diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini.

M. Syuhudi Ismail mengarahkan pemahaman hadis Nabi kepada perbedaan makna tekstual dan kontekstual. Perbedaan ini dapat dilakukan dengan: a) Memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis menyangkut style bahasa, seperti jawami’ al-kalim (ungkapan-ungkapan singkat namun padat makna), tamtsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahasa percakapan dan ungkapan analogi. b) Melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasional yang turut melahirkan hadis.[11]

Kontekstualisasi menurut Daud Rasyid[12], kontekstualisasi hadis memang bisa dibenarkan dalam batas-batas tertentu, asal tidak lepas dari kerangka dasar yang telah disepakati oleh para ulama, dengan catatan sebagai berikut: a) Jika berhadapan dengan benturan-benturan hidup, seorang muslim harus bertanya kepada orang yang ahli dibidangnya, bukan mencukupkan kecenderunganya dirinya sendiri, sementara ia tidak memiliki alat yang cukup untuk melakukan berijtihad dalam persoalan itu. b) Kontekstualisasi hadis bisa saja dilakukan, tetapi hanya oleh mereka yang memiliki keahlian dibidang ini, agar kaum muslimin tidak terjatuh dalam kekeliruan yang merusak kehidupan beragama mereka. c) Standar dalam memahami hadits pertama-tama harus berdasarkan pengertian zhahir, namun demikian dalam hal-hal tertentu ada pengecualian dalam atas kaidah ini. Seoarang ahli berhak untuk mencari makna lain diluar makna dhahir, jika teks hadis yang bersangkutan masih memungkinkan untuk menerima penafsiran yang berbeda dengan pengertian tekstualnya. Lebih-lebih bila pemaksaan atas penggunaan makna tekstual itu hanya akan menimbulkan kesulitan yang berat sehingga mengganggu pola hidup dan menimbulkan kerugian besar. d) Kontekstualisasi boleh dan bisa dilakukan selama ia tidak melanggar kaidah-kaidah pokok agama.

Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstual meliputi dua hal,[13] yaitu: a) Dalam bidang ibadah mahdlah (murni) tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah. b) Bidang di luar ibadah murni (ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.

Pendekatan kajian hadis tentu tidak terlepas dengan pendekatan kebahasaan,[14] sebab hadits itu berupa teks. Teks itu dapat terbaca maknanya jika dilihat dari sisi kebahasaan terlebih dahulu. Untuk lebih mendalami makna kandungen teks maka perlu menyertakan pendekatan yang lain, yakni pendekatan historis, sosiologis bahkan antropologis.

Pendekatan historis digunakan untuk mempertimbangkan persoalan historis saat hadis dikemukakan, tujuanya untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami gejala masa kini. Wujud adanya pendekatan historis melalui ilmu mustholah yaitu asbabul wurudil hadis, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi menuturkanya.

Dari penjelasan para ahli tersebut dapat dipahami bahwa, Historis-kontekstual adalah metodologi pendekatan memahami hadis yang tidak terkait dengan hukum, ditinjau dari sisi aspek historisnya pasca memahami muatan makna dari sisi linguistiknya, mulai dari pra datangnya islam dan pasca datangnya islam melalui prinsip asbabul wurud, serta dirumuskan dengan prinsip ideal moral, dan latar sosiologi bahkan antropologinya. Dengan catatan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama’ ahli hadis.

 

Contoh memahami hadis secara kontekstual:

ولا تسافرنَّ امرأةٌ إلا ومعها محرمٌ

Tempo dulu, tatkala orang hendak bepergian jauh biasanya menggunakan unta dan keledai, dengan medan tempuh padang pasir yang jauh dari hunian penduduk manusia. Kondisi demikian itu bisa menjadikan situasi tidak aman bagi perempuan yang bepergian sendiri, artinya tanpa mahram.

Hal demikian berbeda dengan konteks sekarang, dimana seorang perempuan dapat berpergian jauh dengan mengendarai pesawat, kereta api, atau bus yang dapat mengangkut banyak orang, termasuk seorang perempuan, maka dari itu kare dalam kondisi aman, sebagian ulama’ memperbolehkan seorang perempuan pergi tanpa mahram. Dalam konteks ini Imam syafi’I memberi catatan, bahwa kalau dalam kondisi aman maka seorang perempuan diperbolehkan pergi sendirian.

C.    Rejeksionis liberal

Term “liberal” diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka.[15] Sedangkan rejeksionis itu adalah satu pendekatan dari aspek kepenolakan, sehingga rejeksionis-liberalis suatu metode pendekatan yang sangat bebas sehingga muncul penolakan pada obyek tertentu yang dikaji. Dalam konteks hadis bisa jadi mereka menolak hadis sebagai sumber primer dalam melaksanakan ajaran islam, hanya persoalan dilihat dari sisi bahasa, historis, serta keraguan dalam proses perawian hadis.

liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial,[16] yang memiliki prinsip kebebasan dan bertanggung jawab. Artinya kebebasan itu didasari dengan sikap bertanggung jawab. Karena kebebasan dibatasi hak orang lain, dengan demikian bebas itu tidak mutlak bebas, terdapat faktor lain yang membatasi kebebasan yaitu kebebasan orang lain tersebut.

M. Dawam Raharjo mengutip pendapat Rachman Liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak

sipil. Oleh karenanya, liberalisme justru selalu

disertai dengan hukum (rule of law). Sebab,

kebebasan tidak akan terjadi tanpa adanya

aturan-aturan hukum. Kemudian kebebasan itu

dalam kenyataannya selalu dibatasi oleh hak orang

lain. Kebebasan 􀆟 dak bisa dilaksanakan dengan

mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan di

sini berlaku untuk semua manusia.

D.    Hermeneutik

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang berarti menafsirkan. Hermeneutika secara ringkas dapat diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Sehingga hermeneutik itu merupakan satu bagian dari metodologi pendekatan yang menjadikan orang tidak faham pada suatu obyek menjadi faham dan mengerti.

Lebih jelasnya jika melihat dari terminologinya, kata hermeneutika ini dapat  didefinisikan menjadi tiga hal, yaitu: 1. Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. 2. Usaha pengalihan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh sipembaca 3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.

Objek kajian hermeneutika bertumpu pada eksistensi teks, di mana seseorang merasakan kesulitan ketika berhadapan dengan teks-teks asing, kesulitan itu bisa disebabkan oleh perbedaan jarak, waktu, budaya maupun perbedaan latar belakang teks dengan pengguna teks tersebut, termasuk kesulitan memahami subjektivitas pemilik teks. Oleh karena itu dengan bantuan hermeneutika, seseorang dapat menganalisis latar belakang kemunculan teks, tujuan penciptaan teks dan sasaran yang diinginkannya.

Contoh: syarah shohih al-Bukhori karya Ibnu hajar. Secara hermeneutik (komposisi bahasa dan keluasan pengungkapannya), Ibn Hajar al-`Asqalani memahami dan mensyarah hadis-hadis dari kitab Sahih al-Bukhari tidaklah bertumpu kepada pendekatan bahasa saja, tetapi juga kepada pendekatan usul fiqh, ulumul hadis seperti ilmu rijal al-hadis, tawarikh al-mutun, asbab wurud hadis dan pendekatan sejarah.[17]

 

KESIMPULAN

Pendekatan dalam memahami hadis diantaranya dengan pendekatan normatis-tekstual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal, dan hermeneutik dapat mewarnai makna hadis yang sangat plural. Sehingga tidak aneh bahwa orang memiliki kecendrungan berfikir dan bersikap yang sangat majemuk di belantara dunia ini.

Tentu al-faqir banyak senantiasa menerima dan mengharap kritik saran guna melengkapi atau memperbaharui tulisan ini yang banya kekurangnya. Syukron, semoga manfaat.

Daftar Pustaka

Suryadi, 2008,  Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras. Cet. 1.

Imron, Ali. dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model penelitian Hadis Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I.

Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij dan Metode memahami hadis. Jakarta: Amzah. Cetakan I.

Sayyid Muhammad. Al-qawaid al-Asasiyah fi ‘ilmil mustholah al-hadis. Penerbit: Ashofwah al-Malikiyah.___

Thohan, Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Penerbit:Toko Kitab Hidayah.___

Hasyimi, Ahmad. 2009. Al-Qowaid al-Asasiyah. Lebanon: Darr Kutub al-Islamiyah. Cet. 4.

Muhaimin. 2017. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana. Cet.5.

Rachman, Budhy Munarwan. 2011. Islam dan liberalism. Jakarata: Friedrich Naumann Stiftung. Cet. 1.

Jurnal:

Khoeroni, Farid. 2017. Ideologi Liberalisme Sebagai Dasar Konsep Pendidikan Integratif. Jurnal IJTIMAIYA. Vol. 1.

Channa AW, Liliek. 2011. Memahami makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal: Ulumuna. Volume XV.

Zarkasyi, Hamid Fahmy .___. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis. Jurnal: Tsaqafah. Vol. 5, No. 1

Yahya , Agusni. 2014 Pendekatan Hermeneutik dalam pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani). Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1.



[1] Dalam ilmu hadis, yang dimaksud dengan pengarang tentu makna yang tersirat dalam hadis itu sendiri.

[2] Muhaimin. 2017. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana. Cet.5. hal. 123.

[3] Sayyid Muhammad. Al-qawaid al-Asasiyah fi ‘ilmil mustholah al-hadis. Penerbit: Ashofwah al-Malikiyah. Hal.10-11.

Thohan, Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Penerbit:Toko Kitab Hidayah. Hal.15-16.

[4] Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij dan Metode memahami hadis, Jakarta: Amzah. Cetakan I. hal. 146.

[5]  علوم اللغة العربية عبارة عن اثنى عشر علما – مجموعة فى قوله:

نحو وصرف عروض ثم قافــــــــــية      وبعدها لغة قرض وإنــــــــــــــشاء

خط وبيان معان مع مــحاضرة       والإشتقاق لها الآداب أسماء

Hasyimi, Ahmad. 2009. Al-Qowaid al-Asasiyah. Lebanon: Darr Kutub al-Islamiyah, hal. 4.

[6] Ide yang dimaksut dengan ide adalah makna yang tersirat dalam teks tersebut. Yang bersifat universal, lintas ruang dan waktu dan intersbjektif.

[7] Artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks si pelakunya.

[8] Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij dan Metode memahami hadis, Jakarta: Amzah. Cetakan I. hal. 146.

[9]  Channa AW, Liliek. 2011. Memahami makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal: Ulumuna. Volume XV .Hal 393.

[10] Imron, Ali. dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model penelitian Hadis Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I. halaman 89-90.

[11] Suryadi, 2008,  Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Teras. Cet. 1. Halaman 18-20.

[12] Imron, Ali. dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model penelitian Hadis Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I. hal. 62-63.

[13] Channa AW, Liliek. 2011. Memahami makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal: Ulumuna. Volume XV .Hal. 410.

[14] Pendekatan kebahasaan menurut M Syuhudi Ismail, sangat penting mengingat bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam suasana yang baik dan benar. Pendekatan kebahasaan dalam penelitian matan akan sangat membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.

[15] Zarkasyi, Hamid Fahmy .___. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis. Jurnal: Tsaqafah. Vol. 5, No. 1. Hal. 5.

[16] Rachman, Budhy Munarwan.2011. Islam dan liberalism. Jakarata: Friedrich Naumann Stiftung. Cet. 1. Hal.3

[17] Yahya , Agusni. 2014 Pendekatan Hermeneutik dalam pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani). Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1. Hal. 386.



0 Komentar