METODE (PENDEKATAN) MEMAHAMI HADIS
Normatif-Tektual, Historis-Kontekstual, Rejeksionis-Liberal dan Hermeneutika
Oleh Achmad
Choirul Umam
UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
attuwumgiyu@gmail.com

ABSTRAK
Al-quran dan
Hadits adalah sumber primer yang digunakan untuk pegangan bagi ummat nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dalam berabagai aspek perilaku hidup
didunia dan bekal untuk kelak di akhirat. Sifat dari al-Quran sebagai sumber
adalah qath’i (pasti), sedangkan hadis sebagai sumber itu bersifat dhon
(prasangka, perspektif). Meskipun bersifat dhonni, sudah menjadi kesepakatan
ulama’ bahwa hadis adalah sumber primer dalam beragama, dan keberagaman. Dalam
tulisan al-faqir ini, sebatas mengulas tentang metode pendekatan kajian hadis
modern, untuk memahami makna hadis, yang dipahami oleh penulis semata, dari
membaca beberapa literature, yaitu: pendekatan normatif-tektual,
historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika.
Kata kunci: metode memahami hadis, normatif-tektual,
historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika.
PENDAHULUAN
Para nabi selain nabi Muhammad SAW.
Mendapatkan printah untuk kaumnya yang bersifat sektoral. Sedangkan nabi
Muhammad SAW. Mendapat amanah kerisalahan bersifat global di dunia ini. Logika
seperti Bangsa Indonesia yang jauh dari Arab, masih menikmati dan merasakan
islam yang dibawa dan diajarkan oleh baginda Rosul Muhammad SAW. Bahkan
globalnya itu tidak semua umatnya dapat melihat wajah manusia yang teramat
mulia ini.
Rasulullah mendapat wahyu yang berupa
al-quran, sedangkan sesuatu apapapun yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
menjadi panutan serta berimpiklasi pada hukum. Oleh karena itu hadis menjadi
selalu menarik untuk di kaji maknanya dengan berbagai pendekatan. Para
terpelajar masa modern melakukan beberapa kajian degang pendekatan
normatif-tektual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal dan hermeneutika.
Yang tentunya akan mewarnai makna-makna hadis. Baik untuk kontek sekarang atau
untuk kontek masa-masa yang akan datang. Sudah mendajadi final bahwa Rosululloh
terlepas dari nafsu dalam bersikap, berkata, dan sebagainya. Janji Allah dalam
hadis Qudsi bahwa setiap apapun yang dantang dan bersumber dari Nabi Muhammad
SAW. bersumber dan datang dari Allah SWT.
PEMBAHASAN
A.
Normatif –Tekstual
(mafhum al-nash)
Secata terminologi kata normatif artinya adalah berpegang
teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang berlaku. Sedangkan kata
tekstual berasal dari kata teks yang berarti nash, dalam KBBI teks
berarti; pertama kata-kata asli dari pengarang. Kedua, kutipan dari
kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan. Ketiga, bahan tertulis untuk dasar
memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya. Keempat. Wacana tertulis.
Sehingga secara makna kata, normatif tektual
adalah membaca, memahami makna teks yang tertulis dari pengarang,[1]
didalam kitab suci bertujuan untuk diambil pelajaran atau disampaikan kepada
pobyek yang dimaksud (pidato) sesuai kaidah tata bahasa sumber yang dibaca.
Beberapa istilah yang sering digunakan dalam
pengertian hadis, yakni hadis sendiri, sunnah, khabar dan atsar.[2]
Istilah-istilah tersebut kesemuanya bersinonim.[3]
Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadis secara istilah adalah
perkataan, perilaku, sifat serta ketetapan apapun yang disandarkan kepada nabi
shollallhu ‘alaihi wasallam, dan atau sesuatu yang disandarkan kepada para
shohabat dan tabi’in.
Metode pendekatan normatif-tekstualis yang
digunakan untuk meneliti sekaligus mengkaji hadis, berarti mengkaji dan
meneliti apapun yang disandarkan kepada nabi Muhammad, serta sesuatu yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in. dengan demikian jelas bahwa obyek
yang dikaji dalam tulisan ini adalah hadis. Sedangkan unsur hadis itu ada tiga,
yaitu perawi, teks hadis dan kitab induk hadis. Pendekatan normatif-tekstualis,
membahsas seputar tiga komponen tersebut, tetapi lebih menitik beratkan untuk
memahami makna teks hadis, berdasarkan makna normalnya teks tersebut.
Pemahaman
tekstual adalah pemahaman makna lahiriah nash (dhahir al-nash).[4]
Adapun tekstualnya hadits itu berbahasa arab maka untuk dapat memahami,
seseorang harus dapat membaca teks yang berbahasa Arab. Setidaknya ada 12
cabang keilmuan dasar, yang harus dipahami oleh seseorang untuk membaca dan
memahami bahasa Arab. Didalam kitab al-qowaid al-asasiyah
diterangkan 12 macam cabang ilmu tersebut; yaitu ilmu nahwu, shorof,
‘arudl, qofiah, lughoh, qardl, ingsya’, khath, bayan, ma’ani, isytisqoq, sastra.[5]
Hanya saja dari 12 tersebut, setidaknya untuk dapat membaca teks arab,
seseorang harus menguasai nahwu dan shorof. Ilmu nahwu membahas tentang susunan
kata, sedang ilmu shorof membasas tentang kata. Maka dari itu untuk dapat
membaca teks Arab secara redaksi, dua ilmu tersebut dianggap mencukupi.
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual
(normatif) meliputi:
a)
Ide moral/ide
dasar/tujuan di balik teks (tersirat).[6]
b)
Bersifat
absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.
c)
Visi keadilan,
kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bi al-ma‟rûf.
d)
Relasi antara
manusia dan tuhan yang bersifat universal.[7]
Contoh
memahami dengan metode pendekatan normatif-tekstual:
حدثنا
إسحاق بنُ إبراهيم الحنطليُّ قال: أخبرنا عبد الرزاق قال: أخبرنا مَعْمَرٌ عن
همَّامِ بنِ مُنَبَّهٍ أنه سمِع أبا هريرة يقول: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ. الصحيح للبخارى (135).
Dari hadis tersebut menunjukkan bahwa orang
yang hendak sholat harus berwudlu terlebih dahulu. Apabila tidak berwudlu maka
sholatnya tidak diterima, artinya sholatnya tidak sah. Dengan demikian wudlu
menjadi hal yang harus dilakukan oleh orang yang hendak sholat. Dalam bahasa
fiqih dijelaskan bahwa sesuatu yang dikerjakan sebelum melakukan sesuatu itu
dinamakan syarat, sehingga wudlu menjadi syarat sahnya sholat.
B.
Historis - kontekstual
(ma’qul al-nash)
Kata kontekstual berasal dari kata
konteks yang berarti sesuatu yang ada didepan atau dibelakang (kata kalimat
atau ungkapan) yang membantu menentukan makna. Ada kaum kontekstualis artinya
sekelompok orang yang memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada
disekitarnya karena ada indikasi makna-makna lain selain tekstual. Sehingga
pemahaman kontekstual adalah pemahaman makna yang terkandung di dalam nash (bathin
al-Nash).[8]
Makna kontekstual dibedakan menjadi dua macam: Konteks internal,
terkait bahasa kiasan, metafora, dan simbol. Konteks eksternal,
terkait dengan kondisi audiensi dari segi kultur, sosial serta asbab al-wurud.
Kontekstual adalah suatu penjelasan terhadap hadis-hadis
baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan
pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan.[9]
Menurut Fazlur Rohman, tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk
memahami masa lalu dan mencoba memahami masa kini atas dasar peristiwa atau
perkembangan dimasa lampau.[10]
Adapun historis-kontekstual adalah memahami hadis nabi berdasarkan
peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa hadis
itu ditujukan.
Menurut ahhi:
Menurut Muhammad Iqbal (1877-1938) Dalam
memahami hadits nabi secara kontekstual harus memperhatikan latar sosiologis
dan setting situasional masa nabi dan masa sekarang melalui studi historis,
dalam persoalan hukum. Dengan langkah: a) harus membedakan hadis-hadis yang
membawa konsekuensi hukum dan yang bukan. b) Harus diteliti, artinya berkaitan
dengan pra islam dan saat datangnya islam.
Fazlur Rohman (1919-1988) teori penafsiran
situasional terhadap hadis, ada beberapa langkah: a). Memahami makna teks
hadis. b). Memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi
nabi secara umum, asbabul wurud serta petunjuk quran yang
relevan. c). Merumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut untuk
diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini.
M. Syuhudi Ismail mengarahkan pemahaman hadis
Nabi kepada perbedaan makna tekstual dan kontekstual. Perbedaan ini dapat
dilakukan dengan: a) Memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis menyangkut style
bahasa, seperti jawami’ al-kalim (ungkapan-ungkapan singkat namun padat makna),
tamtsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahasa percakapan dan ungkapan
analogi. b) Melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta
latar situasional yang turut melahirkan hadis.[11]
Kontekstualisasi menurut Daud Rasyid[12],
kontekstualisasi hadis memang bisa dibenarkan dalam batas-batas tertentu, asal
tidak lepas dari kerangka dasar yang telah disepakati oleh para ulama, dengan
catatan sebagai berikut: a) Jika berhadapan dengan benturan-benturan hidup,
seorang muslim harus bertanya kepada orang yang ahli dibidangnya, bukan
mencukupkan kecenderunganya dirinya sendiri, sementara ia tidak memiliki alat
yang cukup untuk melakukan berijtihad dalam persoalan itu. b) Kontekstualisasi
hadis bisa saja dilakukan, tetapi hanya oleh mereka yang memiliki keahlian
dibidang ini, agar kaum muslimin tidak terjatuh dalam kekeliruan yang merusak
kehidupan beragama mereka. c) Standar dalam memahami hadits pertama-tama harus
berdasarkan pengertian zhahir, namun demikian dalam hal-hal tertentu ada
pengecualian dalam atas kaidah ini. Seoarang ahli berhak untuk mencari makna
lain diluar makna dhahir, jika teks hadis yang bersangkutan masih memungkinkan
untuk menerima penafsiran yang berbeda dengan pengertian tekstualnya.
Lebih-lebih bila pemaksaan atas penggunaan makna tekstual itu hanya akan
menimbulkan kesulitan yang berat sehingga mengganggu pola hidup dan menimbulkan
kerugian besar. d) Kontekstualisasi boleh dan bisa dilakukan selama ia tidak
melanggar kaidah-kaidah pokok agama.
Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa
batasan kontekstual meliputi dua hal,[13]
yaitu: a) Dalam bidang ibadah mahdlah (murni) tidak ada atau tidak perlu
pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah. b) Bidang di
luar ibadah murni (ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan
tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal
spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Pendekatan kajian hadis tentu tidak terlepas
dengan pendekatan kebahasaan,[14]
sebab hadits itu berupa teks. Teks itu dapat terbaca maknanya jika dilihat dari
sisi kebahasaan terlebih dahulu. Untuk lebih mendalami makna kandungen teks
maka perlu menyertakan pendekatan yang lain, yakni pendekatan historis,
sosiologis bahkan antropologis.
Pendekatan historis digunakan untuk
mempertimbangkan persoalan historis saat hadis dikemukakan, tujuanya untuk
menemukan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami gejala masa kini.
Wujud adanya pendekatan historis melalui ilmu mustholah yaitu asbabul wurudil
hadis, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan
masa-masa nabi menuturkanya.
Dari penjelasan para ahli tersebut dapat
dipahami bahwa, Historis-kontekstual adalah metodologi pendekatan memahami
hadis yang tidak terkait dengan hukum, ditinjau dari sisi aspek historisnya
pasca memahami muatan makna dari sisi linguistiknya, mulai dari pra datangnya
islam dan pasca datangnya islam melalui prinsip asbabul wurud, serta dirumuskan
dengan prinsip ideal moral, dan latar sosiologi bahkan antropologinya. Dengan
catatan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh
mayoritas ulama’ ahli hadis.
Contoh memahami hadis secara kontekstual:
ولا تسافرنَّ امرأةٌ إلا ومعها محرمٌ
Tempo dulu, tatkala orang hendak bepergian
jauh biasanya menggunakan unta dan keledai, dengan medan tempuh padang pasir
yang jauh dari hunian penduduk manusia. Kondisi demikian itu bisa menjadikan
situasi tidak aman bagi perempuan yang bepergian sendiri, artinya tanpa mahram.
Hal demikian berbeda dengan konteks sekarang,
dimana seorang perempuan dapat berpergian jauh dengan mengendarai pesawat,
kereta api, atau bus yang dapat mengangkut banyak orang, termasuk seorang
perempuan, maka dari itu kare dalam kondisi aman, sebagian ulama’
memperbolehkan seorang perempuan pergi tanpa mahram. Dalam konteks ini Imam
syafi’I memberi catatan, bahwa kalau dalam kondisi aman maka seorang perempuan
diperbolehkan pergi sendirian.
C.
Rejeksionis
liberal
Term “liberal” diambil dari bahasa Latin liber
artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas
dari kepemilikan orang lain. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual
berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan
terbuka.[15]
Sedangkan rejeksionis itu adalah satu pendekatan dari aspek kepenolakan,
sehingga rejeksionis-liberalis suatu metode pendekatan yang sangat bebas
sehingga muncul penolakan pada obyek tertentu yang dikaji. Dalam konteks hadis
bisa jadi mereka menolak hadis sebagai sumber primer dalam melaksanakan ajaran
islam, hanya persoalan dilihat dari sisi bahasa, historis, serta keraguan dalam
proses perawian hadis.
liberalisme adalah paham yang berusaha
memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial,[16]
yang memiliki prinsip kebebasan dan bertanggung jawab. Artinya kebebasan itu
didasari dengan sikap bertanggung jawab. Karena kebebasan dibatasi hak orang
lain, dengan demikian bebas itu tidak mutlak bebas, terdapat faktor lain yang
membatasi kebebasan yaitu kebebasan orang lain tersebut.
M. Dawam
Raharjo mengutip pendapat Rachman Liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak
sipil. Oleh
karenanya, liberalisme justru selalu
disertai
dengan hukum (rule of law). Sebab,
kebebasan
tidak akan terjadi tanpa adanya
aturan-aturan
hukum. Kemudian kebebasan itu
dalam
kenyataannya selalu dibatasi oleh hak orang
lain.
Kebebasan dak bisa dilaksanakan dengan
mengganggu
kebebasan orang lain. Kebebasan di
sini berlaku untuk semua manusia.
D.
Hermeneutik
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
“Hermeneuo” yang berarti menafsirkan. Hermeneutika secara ringkas dapat
diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
tahu dan mengerti. Sehingga hermeneutik itu merupakan satu bagian dari
metodologi pendekatan yang menjadikan orang tidak faham pada suatu obyek
menjadi faham dan mengerti.
Lebih jelasnya jika melihat dari
terminologinya, kata hermeneutika ini dapat didefinisikan menjadi tiga hal, yaitu: 1.
Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai
penafsir. 2. Usaha pengalihan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak
diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh sipembaca 3.
Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan
yang lebih jelas.
Objek kajian hermeneutika bertumpu pada
eksistensi teks, di mana seseorang merasakan kesulitan ketika berhadapan dengan
teks-teks asing, kesulitan itu bisa disebabkan oleh perbedaan jarak, waktu,
budaya maupun perbedaan latar belakang teks dengan pengguna teks tersebut,
termasuk kesulitan memahami subjektivitas pemilik teks. Oleh karena itu dengan
bantuan hermeneutika, seseorang dapat menganalisis latar belakang kemunculan
teks, tujuan penciptaan teks dan sasaran yang diinginkannya.
Contoh: syarah shohih al-Bukhori karya Ibnu
hajar. Secara hermeneutik (komposisi bahasa dan keluasan pengungkapannya), Ibn
Hajar al-`Asqalani memahami dan mensyarah hadis-hadis dari kitab Sahih
al-Bukhari tidaklah bertumpu kepada pendekatan bahasa saja, tetapi juga kepada
pendekatan usul fiqh, ulumul hadis seperti ilmu rijal al-hadis, tawarikh
al-mutun, asbab wurud hadis dan pendekatan sejarah.[17]
KESIMPULAN
Pendekatan dalam memahami hadis diantaranya
dengan pendekatan normatis-tekstual, historis-kontekstual, rejeksionis-liberal,
dan hermeneutik dapat mewarnai makna hadis yang sangat plural. Sehingga tidak
aneh bahwa orang memiliki kecendrungan berfikir dan bersikap yang sangat
majemuk di belantara dunia ini.
Tentu al-faqir banyak senantiasa menerima dan
mengharap kritik saran guna melengkapi atau memperbaharui tulisan ini yang
banya kekurangnya. Syukron, semoga manfaat.
Daftar Pustaka
Suryadi, 2008, Metode Kontemporer
Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras. Cet. 1.
Imron, Ali. dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model
penelitian Hadis Kontemporer. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I.
Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij dan Metode memahami hadis.
Jakarta: Amzah. Cetakan I.
Sayyid Muhammad. Al-qawaid al-Asasiyah fi ‘ilmil mustholah
al-hadis. Penerbit: Ashofwah al-Malikiyah.___
Thohan, Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Penerbit:Toko
Kitab Hidayah.___
Hasyimi, Ahmad. 2009. Al-Qowaid al-Asasiyah. Lebanon: Darr
Kutub al-Islamiyah. Cet. 4.
Muhaimin. 2017. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan.
Jakarta: Kencana. Cet.5.
Rachman, Budhy Munarwan. 2011. Islam dan
liberalism. Jakarata: Friedrich Naumann Stiftung. Cet.
1.
Jurnal:
Khoeroni, Farid. 2017. Ideologi Liberalisme Sebagai Dasar Konsep
Pendidikan Integratif. Jurnal IJTIMAIYA. Vol. 1.
Channa AW, Liliek. 2011. Memahami makna Hadis Secara Tekstual dan
Kontekstual. Jurnal: Ulumuna. Volume XV.
Zarkasyi, Hamid Fahmy .___. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan
Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis. Jurnal: Tsaqafah. Vol. 5, No. 1
Yahya , Agusni. 2014 Pendekatan Hermeneutik dalam pemahaman Hadis
(Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani). Ar-Raniry:
International Journal of Islamic Studies Vol. 1.
[1] Dalam ilmu
hadis, yang dimaksud dengan pengarang tentu makna yang tersirat dalam hadis itu
sendiri.
[2] Muhaimin.
2017. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana. Cet.5.
hal. 123.
[3] Sayyid
Muhammad. Al-qawaid al-Asasiyah fi ‘ilmil mustholah al-hadis. Penerbit:
Ashofwah al-Malikiyah. Hal.10-11.
Thohan,
Mahmud. Taisir Mustholah al-Hadis. Penerbit:Toko Kitab Hidayah. Hal.15-16.
[4] Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij
dan Metode memahami hadis, Jakarta: Amzah. Cetakan I. hal. 146.
[5] علوم اللغة
العربية عبارة عن اثنى عشر علما – مجموعة فى قوله:
نحو
وصرف عروض ثم قافــــــــــية وبعدها
لغة قرض وإنــــــــــــــشاء
خط
وبيان معان مع مــحاضرة والإشتقاق لها
الآداب أسماء
Hasyimi,
Ahmad. 2009. Al-Qowaid al-Asasiyah. Lebanon: Darr Kutub al-Islamiyah, hal. 4.
[6] Ide yang
dimaksut dengan ide adalah makna yang tersirat dalam teks tersebut. Yang
bersifat universal, lintas ruang dan waktu dan intersbjektif.
[7] Artinya segala
sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa
terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi
tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya
(berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya.
Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung
pada konteks si pelakunya.
[8] Khan, Abdul Majid, 2014. Takhrij
dan Metode memahami hadis, Jakarta: Amzah. Cetakan I. hal. 146.
[9] Channa AW, Liliek. 2011. Memahami makna Hadis
Secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal: Ulumuna. Volume XV .Hal 393.
[10] Imron, Ali.
dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model penelitian Hadis Kontemporer.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I. halaman 89-90.
[11] Suryadi, 2008,
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,
Yogyakarta: Teras. Cet. 1. Halaman 18-20.
[12] Imron, Ali.
dan Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2012. Model-model penelitian Hadis Kontemporer.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar Cet. I. hal. 62-63.
[13] Channa AW,
Liliek. 2011. Memahami makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal:
Ulumuna. Volume XV .Hal. 410.
[14] Pendekatan
kebahasaan menurut M Syuhudi Ismail, sangat penting mengingat bahasa Arab yang
digunakan oleh Nabi dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam suasana yang
baik dan benar. Pendekatan kebahasaan dalam penelitian matan akan sangat
membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan
petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.
[15] Zarkasyi,
Hamid Fahmy .___. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis. Jurnal: Tsaqafah. Vol. 5, No. 1. Hal. 5.
[16] Rachman, Budhy
Munarwan.2011. Islam dan liberalism. Jakarata: Friedrich Naumann Stiftung. Cet.
1. Hal.3
[17] Yahya , Agusni. 2014
Pendekatan Hermeneutik dalam pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya
Ibn Hajar Al-‘Asqalani). Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies
Vol. 1. Hal. 386.
0 Komentar